The Revenge *Cerpen

Tittle: The Revenge
Author: Hilda Wardani (@Hilda_Henecia)
Genre: Sad Romance, Killer
Cast: -Andini Nia Kirel as Kirel
       -Handi Morgan Winata as Morgan
       -Bisma Karisma as Bisma
       -Clarisa Tiwi Pramuditha as Clarisa

***

   "Mungkin, gue emang baru kenal elo. Dan kita pun baru kenal, tapi asal lo tau, cuma elo satu-satunya mahasiswa yang gue kenal di kampus ini. Cuma elo satu-satunya yang gue tau. Cuma elo satu-satunya yang bisa bikin gue tenang, nyaman, dan ngerasain satu hal yang gak biasa." Morgan menarik kedua telapak tangan Kirel, di pegangnya tangan lembut itu. Kedua mata tajamnya menatap Kirel begitu dalam.
   Kirel terdiam, mendengar penuturan kata Morgan. Yang sepertinya hendak mengungkapkan perasaannya. Detak jantung Kirel seakan berlomba-lomba untuk berdetak, sangat tak karuan. Kirel tak menyangka Morgan akan mengatakan ini.
   "Gue suka elo, gue sayang elo, dan gue rasa gue juga cinta sama lo. Would you be mine?" finish! Kata-kata pengungkapan yang biasa orang ungkapkan pada orang yang di cintainya kini terlontar dari mulut Morgan. Tangan Kirel masih dalam genggamannya, bahkan Morgan masih menatap Kirel dengan tatapan tajamnya.
  
   "Nah, gitu ceritanya, Bis, Cla." seru Kirel setelah bercerita tentang kejadian sore kemarin. Bisma dan Clarisa tampak serius mendengarkan cerita Kirel, terlihat dari reaksi mereka.
   "Yah, intinya elo nerima apa kagak? Gue gak nanya gimana dia nembak lo nya, Rel!" Clarisa yang tadinya serius kini terlihat kesal juga, karena Clarisa kan hanya bertanya, Kirel terima atau tidak, ehh malah di ceritain panjang lebar begitu.
   "Hehe, woles, Cla. Di terima sih, hehe. Abis gue emang cinta sih ama Morgan." Kirel meggaruk kepalanya yang tak gatal, sambil nyengir kuda.
   "Cinta atau obsesi?" suara dingin Bisma kini terdengar bertanya begitu datar. Sontak Kirel pun menatap Bisma dengan tatapan kesalnya.
   "Obsesi apaan?" tanya Kirel dengan nada sewot.
   "Obsesi karena emang sebulan ini mahasiswa baru itu sempet jadi trending topic kan di kampus." saut Bisma santai.
   "Terserah lo deh. Itu hak lo mau nilai gue kayak apa? Kita kenal udah lumayan lama kan, lo tau gue kan? Yaudah terserah!"
   Bisma tak menjawab lagi, ia hanya memainkan pandangannya, melihat seluruh isi kantin. Sedang Kirel, terlihat memainkan handphone nya.
   "Ku mencintaimu lebih dari apapun, meskipun tiada satu orangpun yang tau." Kirel membaca sebuah status yang muncul di beranda facebook nya. Sontak Clarisa yang berada di hadapannya menengok.
   "Udah ihh like aja! Pake di baca-baca!" sentak Clarisa mendengar Kirel membaca status facebooknya.
   "Haha, galau, Cla?" ledek Kirel.

***

   Tangan kekar Morgan menggandeng lebut tangan Kirel. Mereka berjalan melewati koridor kampusnya. Tatapan demi tatapan mewarnai perjalanan mereka. Tak jarang pula para mahasiswa membicarakannya. Namun Morgan dan Kirel tak menggubris, mereka terus berjalan.
   Mereka berjalan sampai di parkiran kampus, berhenti di depan sebuah motor kawasaki hijau, yang memiliki bodi lumayan besar. Morgan memberi helm nya pada Kirel, dengan senang hati Kirel menerimanya.
   "Emang kamu udah nggak ada kelas?" tanya Kirel pada kekasihnya ini.
   "Ada sih, tapi dosennya gak masuk. Asdos yang ngajar, aku gak suka." Morgan menaiki motornya, di ikuti dengan Kirel.
   Motor itupun melesat, meninggalkan area parkiran kampus. Lalu kemudian meninggalkan gerbang kampus tersebut. Tangan Kirel tampak melingkar di pinggang Morgan.

***

   Mereka terus berjalan meyusuri hutan mangrove, tanpa melepaskan tangan mereka yang saling berpegangan. Sesekali, Kirel tampak menoleh pada Morgan. Segurat senyuman tipis tampak tercipta dari sudut bibir Kirel.
   "Aku mencintainya Tuhan, jangan lepaskan dia dari genggamanku. Biarkan kami terus bersama, hati ini terlalu gembira setiap kali aku menatapnya." batin Kirel meminta.
   Kirel dan Morgan berhenti di sebuah jembatan yang berada di hutan mangrove tersebut. Keduanya terdiam, terciptalah sebuah keheningan yang tak mampu terpecahkan. Keduanya bertumpu pada pikiran masing-masing.
   "Rel." Morgan memanggil Kirel singkat. Kirel pun sontak menengok. Kini posisi mereka saling berpandangan, saling menatap satu sama lain.
   "Apa?"
   "Jangan pernah bikin aku kecewa, yaa?" mata Morgan terlihat begitu meminta pada Kirel. Tersirat dari matanya, bahwa ada trauma yang begitu besar yang telah menimpanya.
   "Gak akan, aku janji." Kirel tersenyum manis pada Morgan.
   Morgan pun lagsung memeluk tubuh Kirel yang berada di sebelahnya itu. Tersungging senyuman tipis dari bibir Morgan. Tangan Kirel pun membalas pelukan Morgan.
   Pada saat siang hari seperti ini, hutan mangrove memang tampak sepi. Karena memang ini adalah waktu jam sekolah, karena pengunjung mangrove kebanyakan memang anak sekolah.

***

   Di parkiran kampus, terlihat Claisa yang tengah menaiki motor matic-nya. Perlahan, Clarisa mulai menjalankan motornya. Rambut panjang yang di ikat satu itu tampak berterbangan separuhnya, karena Clarisa tidak memakai helm.
   "Clarisa!"
   Motor Clarisa berhenti sejenak, ketika mendengar namanya di panggil. Suara itu tampak dari arah belakang. Clarisa pun menenggok.
   "Gue kira siapa? Ada apa?" tanya Clarisa to the point.
   "Nebeng dong, mobil gue mendadak eror tuh." Bisma nyengir kuda, memperlihatkan sederet gigi berbehelnya pada Clarisa.
   "Basi! Bilang aja gak ada ongkos,"
   "Nah itu tau, mundur lo. Gue yang bawa." tanpa meminta ijin, Bisma langsung menaiki motor Clarisa, dan mendorng Clarisa mudur ke belakang.
   "Dih? Motor motor siapa?" Clarisa bertanya bingung.
   "Motor elo, masalah buat gue?" Bisma menyaut santai dengan gaya bicara alay nya.
   Clarisa hanya terkekeh geli, melihat tingkah Bisma. Motor itupun melesat dengan cepat. Wajah Clarisa terlihat kikuk, karena panik Bisma yang mengendarai motornya begitu kencang.
   Ingin rasanya ia melingkarkan tangan di pinggang Bisma, namun rasa tidak enak menyelimutinya. "Seenggaknya gue bersyukur, bisa deket sama lo. Meskipun lo gak tau perasaan gue." Clarisa menatap punggung Bisma yang berada di hadapannya. Hatinya seakan berteriak girang karena ia bisa sekedar dekat dengan orang yang di cintainya.

***

   Langit malam terlihat berwarna kemerahan, menandakan hujan akan turun mengguyur bumi. Angin kencang seakan mewarnai saat-saat hujan hendak turun.
   Masih tetap pada posisinya, Morgan duduk santai di kursi panjang yang terbentang di tengah-tengah taman, tempat biasa Morgan dan Kirel janjian. Sepeti biasanya, kini Morgan sedang menunggu Kirel.
   Tak henti-hentinya Morgan melirik alroji yang terpajang di tangannya. Kurang lebih, sudah satu jam Morgan menunggu Kirel. Namun Kirel tak kunjung datang. Tanpa bergerak sedikitpun, Morgan masih setia menunggu Kirel pada posisinya.
   "Kemana dia?" batin Morgan bertanya-tanya.
   Morgan menghembuskan nafas berat, karena bosan menunggu Kirel yang tak kunjung datang. Namun Morgan harus mencoba tetap sabar. Yap, sabar! Satu kata itu kini harus di miliki Morgan.

***

   "Yah? Yah, kok ujan?" Kirel mengeluh kesal, saat ia membuka pintu rumah Clarisa, yang niatnya hendak langsung menyusul Morgan, namun hujan deras tampak sudah menghiasi malam ini, Kirel pun menggaruk kepalanya seraya bingung.
   "Kenapa, Rel? Hujannya deres ya?" Clarisa dan Bisma tampak datang beriringan menghampiri Kirel yang berdiri di depan pintu rumah Clarisa.
   "Iya nih, Cla. Gimana dong?" wajah Kirel kini terlihat sudah cemas, pikirannya mulai melayang pada Morgan. Sudah Kirel telat satu jam, sekarang hujan pula, apakah Morgan msih di taman itu menunggunya? Atau pergi meninggalkannya, karena terlalu lama menanti Kirel?
   "Naek mobil bareng Bisma aja." usul Clarisa. Seketika mata Kirel tampak berbinar, lalu menatap Bisma penuh harap.
   "Mobil gue kan lagi di bengkel." ucap Bisma singkat, namun mampu membuat Kirel kembali tertunduk lesu.
   "Yaudah lo nginep aja disini, gue gak punya mobil sih." tangan kanan Clarisa menggapai pundak Kirel, memberi saran untuk sahabatnya itu.
   "Nah ide bagus! Gue mau nginep di rumah lo." bukannya Kirel yang bersorak, justru malah Bisma yang berteriak senang.
   "Lah? Kok elo yang girang. Gue gak ngajak lo, gue ngajaknya Kirel!" Clarisa menatap Bisma bingung, karena langsung berteriak senang.
   "Lo tega, Cla, ngeliat gue keujanan? Nanti gue sakit gimana? Terus di rawat, gak ngampus! nanti lo kangen sama gue?" Bisma memasang wajah melas bin lebay di hadapan Clarisa. Clarisa terkekeh geli melihatnya.
   "Haha! Mending lo ijin ke nyokap gue sono!"
   "Ehh udah dong, gue gimana ini?" Kirel yang sedari tadi mendengar Bisma dan Clarisa berceloteh akhirnya bersuara.
   "Yaa, lo nginep aja!"
   "Bukan itu masalahnya, gue ada janji sama Morgan." sesekali, Kirel menengok kearah luar, berharap hujan akan reda. Namun percuma saja, yang ada malah semakin deras.
   "Ini kan ujan, Morgan juga ngertiin kali!" Clarisa mencoba membujuk Kirel untuk tidak ngotot ingin pergi dari rumahnya.
   "Tapi, Cla.."
   "Udah ayuk, nanti lo sms aja. Si Bisma aja yang gak gue ajak udah ngancleng." Clarisa menarik tangan Kirel lembut, untuk masuk kembali ke rumahnya.
   Kirel hanya mengikuti pasrah, meski di hatinya masih cemas, tentang pikirannya pada Morgan. Bagaimana ini? Kata itulah yang kini berputar di pikiran Kirel. Harus bagaimana?

***

   Derasnya hujan semakin besar mengguyur bumi. Angin bertiup begitu kencang, mewarnai turunnya tetes demi tetes air hujan itu. Guntur dan petir berlomba-lomba muncul.
   Masih tetap pada posisinya, Morgan masih terduduk di bangku taman, masih setia menanti Kirel. Tak peduli air hujan telah mengguyur tubuhnya, dan membuatnya basah kuyup. Sesekali telapak tangan Morgan mengusap wajahnya, membersihkan air yang menumpuk di wajahnya (?)
   Dengan wajah kesal, Morgan berdiri dari kursi taman itu, berjalan menghampiri motornya. Menaiki motornya masih dengan ekspresi kesal.
   Bruumm.. Morgan menggas motornya begitu kencang, karena emosinya yang memuncak karena menunggu Kirel tak kunjung datang. Namun sebisa mungkin Morgan berusaha berpikir positif tentang Kirel.

***

   Dengan cemas Kirel menatap layar handphone nya, karena seluruh pesan yang di kirimkan pada Morgan pending semua, serta tak ada yang di respon, mulai dari sms, bbm, serta melali account jejaring sosialnya.
   Sedang Bisma tampak sedang menyandarkan kepalanya di sofa ruang tengah Clarisa, sambil matanya terpejam. Dan Clarisa membantu Ibunya megerjakan pekerjaan rumahnya.
   "Kirel, Bisma, lo pada laper gak sih?" tiba-tiba saja Clarisa datang ke ruang tengahnya itu, bertanya pada Kirel dan Bisma.
   "Laper lah? Emang ada makanan?" Bisma yang tadi memejamkan matanya kini matanya langsung melek.
   "Sono gih lo berdua beli nasi goreng di depan komplek aja. Tau kan? Gue lagi beberes nih."

***

   Hujan yang mulai rintik-rintik mewarnai perjalanan Bisma dan Kirel di balik sebuah payung. Terlihat tangan kanan Kirel menenteng sebuah kantong plastik hitam berisi nasi goreng. Canda tawa pun mengiringi mereka.
   Angin begitu kencang tiba-tiba saja bertiup melewati Bisma dan Kirel. Sontak sebuah payung yang di pegang Bisma terbang begitu saja.
   "Yaahh? Payungnya!" Kirel yang panik karena payungnya terbawa angin pun langsung mengejarnya.
   "Ehh Kirel tunggu!" Bisma yang tertinggal di belakang pun ikut berlari mengejar Kirel.
   Tiba-tiba saja, sebuah mata begitu dingin menatap mereka berdua yang berlarian mengejar payung. Dengan segera, Morgan yang tadinya hanya melewati jalan itu kini malah membelokan motornya, mengejar Kirel yang sedang berlarian dengan Bisma di tengah hujan.
   Motor Morgan menjegat Kirel di ujung jalan komplek, menatap Kirel begitu tajam, bahkan begitu gahar. Tatapannya terlihat begitu seram. Kirel terkejut, melihat Morgan yang tiba-tiba menjegatnya.
   "Morgan?" ucap Kirel refleks seketika melihat Morgan.
   "Naik! Ikut aku." kata-kata singkat yang terdengar begitu dingin itu, langsung membuat Kirel menurut saja.
   Bisma yang bingung, melihat Kirel yang sudah berada di boncengan motor Morgan. Bisma pun menghampiri motor tersebut.
   "Loh, Rel? Lo mau kema.." belum selesai Bisma berbicara, namun motor Morgan telah melewat meninggalkan Bisma di tempat itu sendirian. Bisma hanya menatap kesal motor yang mulai menjauh darinya itu.

***

   Plakk!!
   Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipi kanan Kirel. Tangan dingin itu barusan menyentuh pipi lembut Kirel, dan menghasilkan tanda yang begitu terlihat. Pipi Kirel tampak berwarna kebiruan, serta sudut bibirnya mulai mengeluarkan darah segar karena tamparan yang begitu kencang menghujam pipinya.
   Kirel memegang pipinya kaget, lalu menatap Morgan tak percaya. Di rasakan sakit yang teramat pada pipi dan sudut bibirnya itu, air mata refleks berjatuhan dari mata sembabnya.
   "Lo tau, berapa lama gue nunggu lo di tempat ini? 3 jam, Rel! 3 JAM!" Morgan membentak Kirel dengan suara yang semakin lama semakin keras. "Tapi barusan, apa yang gue liat? Lo malah asik kejar-kejaran sambil ujan-ujanan sama cowok lain. Otak lo dimana?" lanjut Morgan masih dengan amarah yang memuncak.
   "Tapi gak seharusnya lo bersikap kayak gini ke gue! Lo gak tau yang terjadi sebenernya." Kirel masih memegangi pipinya, menahan sakit yang di rasakannya.
   "Gue liat semuanya!"
   "Tapi Morgan, gue.." omongan Kirel tak terlanjutkan karena Morgan langsung meninggalkan taman itu, meninggalkan Kirel sendirian di tempat itu.
   Tanpa menoleh, Morgan kini mengendarai motornya kembali, meinggalkan Kirel di taman itu. Hatinya sudah terlalu kesal dengan apa yang di lihatnya.
   Jedarr.. Suara guntur lagi-lagi menggelegar di tengah malam yang begit gelap ini, lagi-lagi hujan deras kembali mengguyur bumi.
   Bersamaan dengan jatuhnya air hujan, air mata Kirel berjatuhan. Merasakan sakit yang luar biasa, di hati dan di pipinya. Kirel sungguh tak menyangka, ini adalah kali pertama Morgan berbuat kasar padanya.
   Kirel menjatuhkan dirinya pada rerumputan, terus menangis di tengah kesunyian malam, darah segar tak henti-hentinya mengucur dari sudurt bibirnya, mungkin tamparan tangan Morgan memang terlalu keras.
   "Kenapa kayak gini, hiks hiks.." Kirel memejamkan matanya, air mata kian berlomba-lomba terjatuh dari matanya, bersamaan dengan turunnya air hujan.

***

   "Permainan akan di mulai." suara dingin itu terdengar berdesis di sebuah kamar yang tidak terlalu luas. Ia menatap sebuah foto yang terpajang di meja kamarnya.
   Segurat senyuman licik menyeringai di bibirnya. Di tatapnya begitu tajam foto tersebut, lagi-lagi ia hanya bisa tersenyum begitu misterius.

***

   Sudut bibirnya tampak masih terlihat luka lebam, bekas luka itu belum hilang hingga pagi ini. Namun senyuman Kirel tak semudah itu luntur, Kirel masih tetap tesenyum pada setiap orang yang menyapanya, menunjukan senyum manisnya.
   Kirel menghembuskan nafas berat, ketika melihat Morgan sedang berdiri menyender pada tiang penyangga koridor kampus. Dengan hati-hati Kirel menghampiri lelaki yang statusnya masih kekasihnya itu.
   "Morgan.." panggil Kirel dengan suara yang terbilang pelan. Mata Kirel masih ketakutan melihat Morgan.
   Morgan menengok, melihat siapa yang memanggilnya. Morgan tak menyaut panggilan Kirel, hanya matanya yang seolah berbicara, mengatakan "Apa?"
   "Maafin aku." mata lembut Kirel kini mencoba untuk menatap mata Morgan.
   "Aku yang minta maaf, semalem aku emosi. Maafin aku ya sayang." tangan Morgan mengusap lembut pipi Kirel. Kirel tersenyum begitu senang, karena ternyata Morgan sudag tidak marah lagi.
   "Pipi kamu masih sakit? Ya ampun, ini bibir kamu?" Morgan meneliti setiap inci wajah Kirel, melihat beberapa luka lebam yang di akibatkan olehnya.
   "Udah gak papa kok." tangan Kirel menyingkirkan tangan Morgan dari pipinya. Kirel berbohong, sbenarnya pipinya masih terasa perih, makanya ia buru-buru menyingkirkan tangan Morgan.

***

   Tidak berakhir sampai disitu, ternyata seiring berjalannya hubungan Kirel dan Morgan, sikap Morgan pada Kirel semakin brutal. Kesakitan kian melanda pada Kirel, bukan hanya sakit pada fisiknya, juga sakit pada hatinya yang melihat perubahan sang kekasih.
   Pernah suatu ketika, di saat Kirel sedang pergi keluar bersama teman lelakinya, untuk sekedar ke toko buku, membeli buku untuk tugasnya. Dan naasnya, Morgan melihat itu semua, alhasih Morgan marah besar pada Kirel.   Tanpa memperdulikan banyak orang yang melihatnya, Morgan langsung menyeret paksa Kirel. Tak peduli dengan tatapan orang lain.
   Kirel ketakutan setengah mati, melihat sikap Morgan yang kembali seperti ini. Air mukanya terlihat begitu menyeramkan, menakutkan, serta mengerikan.
   Motor Morgan membawa mereka ke rumah Morgan. Dengan paksa Morgan kembali menarik Kirel masuk ke rumahnya. Kirel hanya pasrah menuruti Morgan. Meskipun hatinya ketakutan dengan apa yang akan di lakukan Morgan.
   "Mor..Gan.. maaf.." ucap Kirek terbata-bata, bibirnya terlihat bergetar, karena ketakutan.
   Morgan tak menjawab, ia hanya diam, sambil matanya menatap Kirel begitu tajam. Seperti hendak menerkam Kirel. Kirel menunduk ketakutan, tak berani menatap mata Morgan yang terlihat melotot itu, serta berwarna kemerahan.
   Prangg... Vas bunga yang tadinya tergeletak di meja ruang tamu Morgan kini tampak bertebaran di lantai. Morgan membanting vas bunganya hingga pecah tak beraturan. Pecahan beling itu mewarna lantai rumah Morgan.
   Kirel tersentak kaget, melihat Morgan membanting vas bunganya. Ingin rasanya ia langsung berlari, namun tangannya di genggam erat oleh Morgan.
   "Kamu mau apa?" dengan suara pelan, Kirel bertanya pada Morgan. Morgan masih tak menjawab, ia malah mengambil salah satu serpihan beling vas bunga itu.
   "Aww.." Kirel meringis kesakitan, ketika serpihan beling itu menancap pada tangannya. Dengan santai Morgan terus menggoreskan beling itu pada seluruh tangan Kirel.
   "Aku udah pernah bilang, jangan kecewain aku!" desis Morgan sambil terus menggoreskan beling itu.
   "Sakit, Morgan!!" air mata mulai mengalir dari pelupuk mata Kirel. Ia sungguh tak kuasa menahan kesakitan yang menjalar pada tangannya itu.
   "Hah? Kamu sakit, Rel. Maafin aku." Morgan melepaskan serpihan beling itu begitu saja. Lalu menatap lembut mata Kirel yang masih terus menangis.


   Prangg... Vas bunga yang tadinya tergeletak di meja ruang tamu Morgan kini tampak bertebaran di lantai. Morgan membanting vas bunganya hingga pecah tak beraturan. Pecahan beling itu mewarna lantai rumah Morgan.
   Kirel tersentak kaget, melihat Morgan membanting vas bunganya. Ingin rasanya ia langsung berlari, namun tangannya di genggam erat oleh Morgan.
   "Kamu mau apa?" dengan suara pelan, Kirel bertanya pada Morgan. Morgan masih tak menjawab, ia malah mengambil salah satu serpihan beling vas bunga itu.
   "Aww.." Kirel meringis kesakitan, ketika serpihan beling itu menancap pada tangannya. Dengan santai Morgan terus menggoreskan beling itu pada seluruh tangan Kirel.
   "Aku udah pernah bilang, jangan kecewain aku!" desis Morgan sambil terus menggoreskan beling itu.
   "Sakit, Morgan!!" air mata mulai mengalir dari pelupuk mata Kirel. Ia sungguh tak kuasa menahan kesakitan yang menjalar pada tangannya itu.
   "Hah? Kamu sakit, Rel. Maafin aku." Morgan melepaskan serpihan beling itu begitu saja. Lalu menatap lembut mata Kirel yang masih terus menangis.
   "DAN KAMU PIKIR AKU GAK SAKIT, HAH?" suara Morgan kembali terdengar meninggi. Tangan kanannya menjambak kasar rambut Kirel. Kepala Kirel pun langsung neggleng sebelah (?)
   "AAA..AA.. hiks, hiks," Kirel berteriak sambil menangis, ia tak mampu berbuat apa-apa. Tenaganya seakan terkuras oleh perlakuan kasar Morgan.

***

   Hembusan angin malam seakan menusuk kulit Kirel yang penuh dengan luka. Dari balkon kamar kost nya, Kirel menatap nanar pada bintang yang bertebaran di langit.
   Air matanya refleks mengucur, membasahi pipi lembutnya itu. Pikirannya melayang pada kejadian tadi siang, saat Morgan menyiksanya. Belakangan ini memang sering sekai Morgan marah dan menyiksanya.
   "Kamu jahat, tapi aku gak bisa ninggalin kamu. Aku cinta kamu." lirih Kirel bersamaan dengan air matanya yang turun membasahi pipinya.
   Tess.. setetes air mata jatuh pada tangan kanannya, membasahi luka yang di goreskan oleh Morgan. Perih! Itu terasa begitu sangat perih. Air mata Kirel pun mengucur tanpa henti. Hatinya berkecamuk.
   Apa yang harus di lakukannya, ia mencintai Morgan. Bahkan sudah terlalu mencintai Morgan. Tapi fisik dan hatinya akan terus terluka bila sikap Morgan seperti ini.

***

   "Loh, Rel? Tumben lo pake baju panjang?" tanya Bisma ketika Kirel datang menghampirinya dengan baju lengan panjangnya.
   "Iya, gue gak enak badan. Clarisa mana?" mata Kirel mencari-cari sosok Clarisa, yang biasanya suka ada bareng Bisma.
   "Ohh, iya muka lo pucet tuh. Sakit apasih? Mana gue tau, emang gue kantongin!" jawab Bisma sekenanya. Kirel tak menjawab.
   Bisma pun mengambil air mineral yang ada di tas ranselnya. Segera meneguknya. Namun.. Byurr.. tiba-tiba saja air mineral itu terjatuh pada tangan Kirel.
   "Aww.." Kirel berteriak karena merasa tangannya yang luka tersiram air. Wajahnya terlihat begitu kesakitan.
   "Ya ampun maap, lebay lo ahh gitu aja langsung kayak orang kesakitan gitu!" Bisma berusaha memegang tangan Kirel, seolah membersihkan tangan Kirel yang basah.
   "Aaaa.. sakit, Bisma!" Kirel menarik tangannya. Karena di pegang oleh Bisma. Tangannya semakin perih.
   "Sakit? Tangan lo kenapa?" Bisma menatap Kirel curiga, ketika Kirel mengatakan sakit. Tangannya langsung menggapai telapak tangan Kirel. Meraihnya, lalu membuka sebagian baju berlengan panjang Kirel.
   "Jangan!" telat, Bisma sudah melihatnya. Melihat beberapa goresan luka yang kemarin di ciptakan Morgan.
   Mulut Bisma menganga, ia tak percaya dengan apa yang di lihatnya. Mata Bisma kini langsung menatap Kirel, seolah meminta penjelasan.

***

   Dengan hati-hati Bisma meneteskan obat merah pada bekas luka di tangan Kirel. Tak henti-hentinya Kirel pun meringis, menahan kesakitannya itu.
   Setelah selesai meneteskan obat merah, Bisma langsung menatap Kirel. Tak percaya dengan apa yang tadi di ceritakan Kirel. Kini mereka sedang berada di UKS.
   "Lo masih pacaran sama Morgan?" tanya Bisma sambil menatap Kirel begitu dalam. Kirel mengangguk, tanpa menjawabnya.
   "Udah kayak begini, lo masih ajapacaran sama Morgan? Dia jahat sama lo, Rel!" suara Bisma terdengar agak membentak Kirel.
   "Tapi gue cinta sama dia!" Kirel kini mengeluarkan suaranya. Matanya terlihat begitu lirih.
   "Cinta? Lo bilang cinta? Lo bisa mati gara-gara cinta lo ini!"
   "Gue nggak peduli!"
   Keduanya kini terdiam, Bisma tak tau harus bicara apa lagi pada Kirel. Cintanya telah membutakannya, hingga membuatnya terluka fisik dan hatinya.
   "Rel," panggil Bisma lagi. Kirel menengok.
   "Apa?"
   "Gue cinta sama lo, gue nggak terima lo di giniin sama Morgan. Seandainya gue jadi pacar lo, gue gak akan nyakitin lo sedikitpun!" ungkap Bisma setelah memikirkan apa yang di ucapkannya.
   Degg.. Jantung Kirel sontak langsung berdetak tak karuan, ia tak menyangka ternya Bisma mencintainya. Mata Kirel pun langsung menatap Bisma tak percaya.
   "Sorry, Bis. Tapi gue cintanya sama Morgan, gimana pun Morgan nyakitin gue, gue akan tetep cinta sama Morgan!" dengan hati-hati Kirel berbicara tanpa bermaksud menyakiti hati Bisma. Bisma tak menjawab, ia hanya tersenyum, sambil mengusap kepala Kirel.

***

   Kirel duduk santai di sofa ruang tamu rumah Morgan, di sampingnya pun ada Morgan yang juga terduduk bersamanya.
   Tak kapok dengan insiden kemarin, Kirel masih saja tetap berkunjung main ke rumah Morgan.
   "Aku mau ke toilet dulu." Kirel berdiri dari duduknya, hendak berjalan menuju toilet di rumah Morgan.
   "Siapa yang ngobatin luka kamu?" tanya Morgan ketika Kirel hendak berjalan menuju toilet. Kirel pun berhenti sesaat.
   "Clarisa." dusta Kirel karena tak mau Morgan salah sangka lagi. Kirel pun melanjutkan jalannya.
   Pranggg...
   Gelas berisikan orange jus yang tadinya berada di meja kini melayang pada kepala bagian belakang Kirel, perlahan darah pun mulai mengucur dari kepala Kirel. Ternyata Morgan yang melemparnya.
   "Gak usah bohong! Gue liat lo sama Bisma di UKS berduaan!" Morgan kini ikut berdiri.
   Kirel memejamkan matanya, menahan sakit yang harus di rasakannya lagi. Tangan Kirel menggapai kepala bagian belakangnya, memegangi kepalanya yang terus bercucuran darah.
   Morgan menghampiri Kirel, menyeret Kirel menuju sudut ruangan. Morgan mendorong Kirel hingga ia terpojokan. Air mata lagi-lagi berjatuhan dari mata Kirel.
   "Aku cuma gak mau kamu marah." di tengah isak tangisnya, Kirel menjelaskan tentang kebohongannya.
   "Gue gak suka di bohongin!" Badan kekar Morgan kini menghimpit tubuh Kirel, membuat Kirel tak bisa bergerak sama sekali. Darah di kepalanya masih terus bercucuran, menempel pada tembok rmah Morgan, karena posisi Kirel yang di pojokan seperti ini.
   Morgan mengeluarkan gunting dari saku celananya, tanpa berkata-kata, Morgan langsung menggunting rambut Kirel tak beraturan, namun Kirel tak bisa berbuat apapun, yang bisa ia lakukan hanyalah menangis.
   Setelah menggunting rambut Kirel asal, kini gunting itu di arahkan pada wajah Kirel. Melihat itu Kirel langsung panik.
   "Kamu mau apa?" tanya Kirel dengan nada suara ketakutan.
   "Aku mau menghias wajah kamu." senyum Morgan tersungging begitu mengerikan. Kirel pun makin ketakutan, dan berusaha memberontak.
   "Jangan, aku mohon!" suara lirih Kirel terus memohon. Namun Morgan sama sekali tak mendengarkannya.
   Dengan menggunakan guntingnya, Morgan menggoreskan gunting itu pada wajah cantik Kirel. Kirel semakin meringis kesakitan, tak kuasa menahan perih lukanya itu. Tak hanya di wajahnya, Morgan pun kini menggoreskan gunting itu pada bibir Kirel. Darah kian bercucuran di wajah Kirel. Namun Morgan malah tersenyum sinis.
   Cupp.. Seketika bibir Morgan justru mendarat di bibir Kirel. Mata Kirel terbelalak, melihat aksi Morgan ini. Morgan menggigir bibir bawah Kirel yang penuh luka itu. Sedang Kirel hanya merintih kesakitan, karena bibirnya baru saja di goreskan luka dengan gunting oleh Morgan. Dan kini Morgan malah menciumnya. Air ludah yang menempel pada bibir Kirel seakan menambah perih luka Kirel.
   Tuhan!! Tolong aku. Kirel menjerit dalam hatinya. Ia sama sekali tak menikmati first kiss berdarahnya itu. Yap, wajahnya pun masih berlumuran darah.
   Morgan pun melepaskan tautan bibirnya dengan Kirel, ia langsung pergi begitu saja meninggalkan Kirel yang masih menangis bersamaan dengan darah yang bercucuran.
   Tubuh Kirel merosot, membuat Kirel kini terduduk. Ia menarik lututnya, di peluknya lututnya yang serasa lemas itu. Kirel masih terus menangis, menahan semua kesakitan yang di alaminya. Belum sembuh luka yang kemarin, kini Morgan sudah manambahkannya lagi.

Jika ku hadir untuk di sakiti
Biarlah ku pergi jauh dan sendiri
Tanpa ada kamu! Siapapun disini
Ku menangis..

Kebodohanku, tlah anggap dirimu kan baik untukku
Butakan hatiku,
Kau pergi begitu saja tak ku tau
Ku tlah layu..

Mungkin karena ku terlalu mencintaimu
Ku terlukaa..

Kemana ku berlari
Kemana aku kan pergi
Ku cintai namun benci
Caramu mencintaiku..

***

   Bukk.. Bukk.. Bukk..
   Tangan Bisma terus memukuli wajah tampan Morgan. Bisma terlihat begitu murka dengan apa yang di lakukan Morgan. Tak peduli kini mereka sedang berada di rumah sakit, namun Bisma terus memukuli Morgan.
   Morgan sama sekali tak membalasnya, ia hanya pasrah dari setiap pukulan yang di arahkan untuknya. Meskipun darah segar sudah mengalir dari sudut bibirnya, serta wajahnya sudah terlihat memar-memar karena di pukuli Bisma.
   "ELO GILA, GAN! Bisma berteriak sambil jari telunjuknya menunjuk wajah Morgan. Morgan menapik tangan Bisma kasar, tak suka di tunjuk seperti itu.
   Sedikitpun, Morgan tak membalas setiap pukulan yang Bisma lontarkan padanya. Ia hanya diam, pasrah, namun matanya yang memerah menatap Bisma tajam.
   "Kenapa? Dia pacar gue!" setelah sedari tadi diam, akhirnya Morgan membuka mulutnya.
   "Pacar lo? Lo tau dia pacar lo, tapi lo nyiksa dia. Wah, SAKIT LO!" tangan Bisma mencengkram kerah baju Morgan begitu kencang.
   "Bisma udah! Kalian apa-apaan sih berantem gitu!" Clarisa yang berada disitu menengahi perkelahian itu. Matanya pun memerah karena habis menangis. Karena saat ini Kirel sedang berada di rumah sakit, ia di rawat.
   "Minggir!" Morgan menyingkirkan tangan Bisma dari kerah bajunya, lalu mendorong Bisma kasar, dan pergi meninggalkan rumah sakit begitu saja.

***

   Tangan itu menyentuh pergelangan tangan Kirel yang di lilitkan selang infus. Dengan lembut tangan itu mengusap jemari Kirel. Mata dinginnya kini menoleh pada wajah Kirel. Ia masih terlelap, Kirel koma.
   Tess.. Setetes air mata jatuh dari mata dinginnya. Hatinya seakan bergetar, tak tega melihat kekasih hatinya harus bermain dengan peralatan rumah sakit yang kini membelitnya.
   "Maafin aku, aku harus nuntasin dendam keluarga aku ke kamu. Tapi aku udah terjebak dalam permainanku sendiri, dan sekarang aku terlalu cinta kami, Rel." ucap Morgan begitu tulus. Wajahnya yang kemarin terlihat gahar kini begitu pilu.
   "Aku akan lakuin apa yang harus aku lakuin, iya! Aku udah yakin, Rel." Morgan beranjak dari duduknya, pergi meninggalkan Kirel dengan keyakinan hatinya.

***

   "Morgan.. Morgan.." berulang kali Kirel memanggil nama itu. Namun hanya suaranya yang terdengar, matanya masih terpejam. Ia hanya mengigau.
   "Rel, bangun dong. Jangan ngigo terus." Clarisa yang duduk dekat tempat tidur Kirel menatap Kirel cemas.
   "MORGAANN!!" Kirel terlonjak bangun dari tidurnya. Ia langsung terduduk setelah berteriak memanggil nama Morgan. Wajahnya terlihat panik, nafasnya tak beraturan seperti orang habis berlarian.
   "Kirel!" Clarisa memegang tangan Kirel bahagia sekaligus cemas melihat Kirel yang seperti ini.
   "Morgan mana, Cla?" tanya Kirel langsung.
   "Dia ada." mata Clarisa menatap Kirel begitu lembut. Berusaha menenangkan sahabatnya ini.
   "Dimana?"
   "Kemarin Morgan bilang ke gue, kalo lo nanyain dia, gue harus bilang. Dia ada, ada disini." tangan Clarisa menggapai bagian dada Kirel, memegangnya, terdengar suara detak jantung yang melantun indah di dalam diri Kirel.
   Kirel tersentak kaget, ia menatap Clarisa tak percaya. Tanpa perlu di jelaskan Kirel telah mengerti maksud Clarisa. "Nggak! Nggak mungkin, Cla!" Kirel menggeleng tak percaya.
   "Kenapa lo gak pernah bilang, Rel? Kalo lo punya penyakit jantung."
   Kirel terdiam, ia tak menjawab pertanyaan Clarisa. Perlahan dari pelupuk matanya sudah tumpah air mata, dan kini telah membasahi pipinya yang masih tersisa bekas luka yang di buat oleh Morgan.
   "Gue mau ke Morgan!" Kirel menarik semua perlatan rumah sakit yang melekat pada tubuhnya. Ia langsung turun dari ranjang rumah sakit itu. Lalu berjalan sempoyongan menuju pintu kamar rumah sakit.
   "Kirel lo mau kemana?" Clarisa lngsung mengejar Kirel.
   Kirel membuka engsel pintu kamar tersebut, namun penyangga kakinya seakan sudah tak kuat berdiri, ia sempoyongan dan hendak terjatuh.
   "Ahh."
   Dengan sigap tubuh kekar yang muncul dari balik pintu sudah menangkap tubuh Kirel yang lemah. Kirel terjatuh dalam pelukannya.
   "Morgan." Kirel mendongkakan kepalanya, berharap yang menangkapnya memang Morgan.
   "Gue Bisma, Rel." Bisma masih memegangi Kirel yang berada dalam pelukannya.

***

Dear Kirel...

   Sayang, apa kabar? Pasti kamu udah baikan deh. Maafin aku ya, entah harus berapa kali aku minta maaf ke kamu, tapi tetep aja itu seakan belum terbalaskan dengan apa yang udah aku lakuin ke kamu.
   Rel, aku minta maaf. Maaf. Maaf sebesar-besarnya. Aku gak pernah mau bahkan gak pernah tau harus berbuat kayak gitu. Mendadak Kakak aku nyuruh aku buat balesin dendam keluarga kita ke kamu. Aku tau, orang tua kamu udah gak ada dua-duanya, begitupun dengan orang tua aku. Tapi keluarga kamu udah ngancurin reputasi keluarga aku, udah bikin Papa aku mati di penjara, Mama aku mati karna stress, dan calon adikku ikut meninggal di dalamnya. Aku yang tau cerita itu dari Kakakku seakan gak terima dengan yang udah keluarga kamu lakuin, makanya aku berbuat kayak gitu.
   Membuat kamu cinta mati sama aku, lalu menyiksa batin dan fisik kamu. Tapi aku terjebak, Rel! Aku terjebak dalam permainanku sendiri. Sekarang aku cinta banget sama kamu, jujur! Setiap perlakuan kasar yang pernah aku lakuin ke kamu, aku selalu ngerasain gimana sakitnya jadi kamu. Terserah kamu mau anggep aku gila, stress, atau psiko sekalipun.
   Aku tau semua tentang kamu, tentang keluarga kamu, tentang diri kamu, dan penyakit kamu. Makanya aku mutusin untuk menaruh jantung aku ke kamu. Aku harap itu bisa nebus semua kesalahan yang pernah aku lakuin ke kamu. Dan harus kamu tau, aku gak pernah pergi. Seperti yang udah kamu denger dari Clarisa, aku ada. Ada di setiap detakan jantung kamu.
   Jaga diri kamu baik baik ya sayang, Maafin aku :*

Morgan

   Di depan pusaran makam Morgan, Kirel terduduk lemas sambil menangis, tangan kanannya meremas sepucuk surat yang baru di bacanya itu. Ia seakan tak percaya dengan takdir ini.
   "Aku gak yakin bisa bertahan tanpa kamu, sekasar-kasarnya kamu sama aku, tapi kamulah salah satu alasan kenapa aku masih bertahan. Tapi aku gak akan ngecewain kamu, kamu rela menukar nyawa kamu demi aku." Kirel mengusap lembut nisan makam Morgan. Air mata masih terus berjatuhan dari matanya, membasahi pipinya.

***

   "Gue suka elo!" ungkap Bisma begitu singkat, namun terlihat begitu tulus.
   Clarisa membolakan matanya tak percaya. Jantungnya berdetak tak karuan saat Bisma mengatakan itu. Bibirnya tak bisa berkata apapun.
   "Mukanya gak usah panik gitu, Cla! Gimana? Gue gitu aja kali ya nembak Kirel." Bisma cengengesan di depan Clarisa.
   Jederr.. Hatinya seakan tersambar gledek saat mendengar lanjutan omongan Bisma, baru saja ia merasa senang karna berpikir Bisma menyukainya. Namun sedetik kemudian, Bisma seaskan melemparkan Clarisa dari luar angkasa. Sakit, perih, hancur, dan sebagainya. Perasaannya sungguh tak mampu di ibaratkan kata-kata.
   "Terserah, sorry Bis, nyokap nyuruh gue pulang." dengan mata yang terlihat memerah, Clarisa mengalihkan omongannya. Ia tak tahan berada di depan Bisma, karena gas air mata akan segera membuncah keluar dari mata indahnya itu. Tak mungkin Clarisa menangis di hadapan Bisma.
   Clarisa membalikan badannya, perlahan ia mulai melangkah pergi dari Bisma, meski kakinya masih bergetar. Namun sejurus kemudian, tangan kanan Clarisa seperti ada yang menarik paksa. Sontak mau tak mau Clarisa pun berbalik, ternyata Bisma yang menariknya. Bisma kembali menarik tangan Clarisa, hingga Clarisa masuk kedalam pelukannya.
   Degg... Detak jantung Clarisa langsung kembali berdetak dengan dahsyatnya. Keadaan seperti inipun membuat Clarisa dapat mendengar detak jantung Bisma. Ia tak mengerti, apa maksudnya ini?
   "Becanda, Cla. Kata-kata yang tadi itu buat elo. Gak usah cengeng gitu ahh, masa mau nangis." ucap Bisma dengan suara lembutnya. Clarisa pun langsung melepaskan pelukannya dan menatap Bisma tak percaya.
   "Tapi emang lo sukanya ama Kirel kan?"
   "Tapi gue lebih nyaman sama orang yang cinta sama gue begitu tulus. Makasih udah mau mencintai gue, meskipun lo pikjir gue gak tau, tapi gue tau kok semuanya. And now, I Think I Love you, Clarisa. Would you be mine?" Clarisa menatap Bisma tak oercaya. Air mata yang tadi di tahannya kini mulai keluar, namun kini bukan tangisan luka, tapi haru. Bersamaan dengan itu, Clarisa mengangguk sambil tersenyum.

-End-

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mencintaimu Dalam Diam

Love At The Last Sight *Cerpen

You Belong With Me *Cerpen Duet