About My Life *Cerpen
Judul: About My Life
Penulis: Hilda Wardani
***
Perlahan ku pejamkan kelopak mataku ini, tak terasa air mata ini refleks turun dari mataku yang telah sayu ini. Menangis! Rasanya, menangis ditengah hujan aku sangat menyukainya. Karena takan ada yang megetahui bahwa kini aku sedang menangis.
Perih, rasanya perih sekali perjalanan hidup ini. Ohh tidak! Rasanya lebih tepat itu jalan hidupku! Aku melihat orang lain hidup bahagia, penuh senyum, canda, dan tawa. Serta hidup dikelilingi dengan orang yag dicintainya? Sedangkan aku? Rasanya aku tak pernah melihat orang-orang yang aku cintai tersenyum untukku. Hal yang selalu dilakukan mereka adalah, mengejeku, mengomeliku, dan menatapku dengan tatapan yang sangat mengerikan. Sesedih itukah hidupku? Yah, tapi aku masih bersyukur. Karena Tuhan memberiku kesabaran yang lebih sehingga aku masih bertahan hingga saat ini.
Plangg.. Botol minuman kaleng dengan mulus mengenai puncak kepalaku. Aku menoleh pada koridor Kampus yang kurasa arah dari lemparan itu.
"Ehh dia nih yang lempar!" Seorang lelaki menunjuk teman disebelahnya.
"Bohong, dia tuh yang lempar." Teman yang tadi ditunjuk kini menyalahkan temannya yang tadi.
"Apaan? Itukan minuman elo?"
"Tapi lo yang lempar!"
Ajang salah-salahan mereka itu rasanya masih berlanjut. Namun kupingku serasa panas untuk mendengarkannya. Karena mereka tidak akan mengakuinya. Tapi aku tau, mereka sengaja bersikap seperti itu. Bahkan tadipun aku tau bahwa mereka sengaja melemparku botol minuman. Rifki dan Tiko, itulah mereka. Dua orang yang selalu sinis terhadapku, hanya karena aku lebih dipercaya dosen dibandingkan seorang yang bernama Rifki itu, sedang Tiko, selaku teman Rifki jelas berada dipihak Rifki. Tahukah engkau bagaimana rasanya dibenci dengan orang yang kau cintai? Selalu ditatap sinis dengannya? Diperlakukan semaunya? Dan aku, hanya bisa diam! Karena aku tak cukup punya keberanian menghadapi itu semua.
***
"Anak kuliahan, pulang-pulang basah kuyup? Kamu kuliah, apa jadi kuli pasar sih? Emang Universitasnya bocor?!" Sambutan yang langsung memeking ditelinga itu terdengar begitu nyaring ketika aku menutup kembali pintu rumah. Aku terdiam sambil menunduk.
"Tapikan, Keyra kebasahan waktu turun angkot, Pa." Sautku pelan.
"Pinter, masih ngejawab pula! Kamu itu memang anak kurang ngajar!" Seorang yang tadi ku panggil Papa itu langsung melotot kepadaku.
Plakk, satu tamparan yang sudah tak asing ku terima itu, kini lagi-lagi menampar pipiku. Aku tak bisa melawan. Hanya menitihkan air mata, menahan sakit yang kurasakan.
Dengan segera, aku berlari menuju kamarku. Kututup rapat-rapat pintu kamarku, dan ku kunci dari dalam. Refleks akupun menjatuhkan diri sambil bersender pada pintu. Ku tenggelamkan kepalaku dikedua lututku.
"Hiks, hiks, kenapa hidupku seperih ini, Tuhan?" Ucapku serak, sambil menangis tersedu-sedu meratapi semua kejadian yang menimpaku.
***
Matahari telah tampak menyinari bumi, setiap insan yang semula terlelap-pun kini mulai terbangun dari tidurnya, mulai melakukan aktifitasnya. Tak ada bedanya denganku, pagi ini aku awali dengan sarapan bersama Papa, Adin, dan Kak Fitri. Kak Fitri adalah Kakaku, sedang Adin adalah adikku. Tetapi, Papa seperti membedakan kasih sayangnya terhadap kami. Kasih sayang yang berlimpah selalu Papa berikan untuk Adin dan Kak Fitri, apapun akan Papa berikan jika mereka meminta sesuatu. Tetapi teriakan dan tamparan Papa selalu tujukan untukku. Mama? Mama telah berpulang pada sisi Tuhan, dan Papa selalu menganggap akulah penyebab kecelakaan itu.
"Pa, aku nanti malem mau nge-band sama temen-temenku. Mungkin pulang agak malam." Adin seperti meminta ijin pada Papa.
"Hm, aku juga ada kerjaan lembur nih, Pa." Kak Fitri menimpali.
"Yasudah, Papa ngerti kok." Saut Papa bijak.
Aku yakin seribu persen, jika aku bilang bahwa aku akan pulang telat karena mengerjakan tugas, Papa pasti akan marah.
"Pa, aku juga ada tu.."
"Kamu mau beralasan lagi, Key? Gak ada main buat kamu! Pulang kuliah, langsung kerumah!" Lihatlah! Dugaanku benar, Adin dan Kak Fitri hanya menatap iba kepadaku. Namun mereka tak pernah peduli akan diriku.
***
Dari jauh, aku merasa ada tatapan mengerikan yang menatapku. Sinis sekali rasanya. Namun aku berusaha bersikap santai dan berjalan biasa menyusuri koridor kampus ini. Sesampainya didepan perpustakaan, dua orang lelaki kini menjegatku. Itulah mereka, Rifki dan Tiko.
"Maksud lo apa-apaan? Mau gue puji gitu? Dengan cara lo ngundurin diri di ajang lomba nanti, dan di gantiin sama gue?" Rifki langsung mengomeliku dengan nada sinis. Tuhan! Tak bisakah sedikit saja ia bicara lebih lembut padaku? Sakit sekali rasanya bila terus-terusan aku diperlakukan seperti ini olehnya, oleh orang yang aku cintai selama ini.
"Gue, gue emang gak bisa ikut itu. Karena gue ada acara lain, Ki." Aku berusaha menatap mukanya.
"Alahh, bilang aja kalo lo mau caper ama Dosen!" Rifki mendorong pundaku kebelakang, hingga menyebabkan aku tersungkur ke lantai. Lalu kemudian ia pergi meninggalkanku.
Seluruh mata yang ada disitu menatapku bagaikan tontonan. Sedang Tiko yang biasanya mengikuti Rifki justru malah membantuku berdiri.
"Lo gapapa, Key? Maafin temen gue yah, dia udah ketelaluan banget inimah." Tiko berjongkok untuk menyamaiku. Lalu ia membantuku berdiri. Aku hanya membalas senyuman seraya mengucakpak terima kasih.
"Makasih, Ko. Udah gapapa."
***
Bugh..
Satu tonjokan mengenai wajah tampan Rifki. Dengan penuh amarah Tiko menarik kerah baju Rifki.
"Apa-apaan lo, Ko? Seenaknya nampar gue gini?" Tany Rifki bingung.
"Lo keterlaluan, Rif! Gak seharusnya lo begitu sama Keyra!"
"Jadi, lo belain Keyra? Astaga, lo sakit ya? Atau, lo suka sama cewek aneh itu?!" Wajah Rifki terlihat murka seketika mendengar Tika berbicara.
"Gue gak sakit! Justru sekarang gue ngerti, lo yang sakit! Apa lo kata? Gue suka sama Keyra? Tuhkan, ini bener-bener lo yang sakit. Lo nyadar gak sih, kalo Keyra tuh SUKA SAMA LO!" Tiko sedikit menaikan nada bicaranya ketika diakhir.
"Apaansih? Ngaco lo ngomong!"
"Mata lo pake, lo gak bisa liat apa tatap an dia ke elo gimana?! Atau lo buta?!"
"Gak! Gak mungkin!" Rifki menggelengkan kepalanya seraya tidak percaya.
***
"Kenapa lo gak bilang! Kenapa lo gak pernah ngomong? Kalo lo tuh suka sama gue?!" Dari arah belakang ku dengar suara gentakan menggema. Perlahan aku menoleh, sambil menghapus sebagian air mataku.
"Rifki? Lo?" Aku terkejut, seketika ku tau bahwa Rifki berbicara seperti tadi.
"Keyra, lo nangis?" Ia mendekat padaku dengan tatapan khawatir. Tatapannya, sungguh sangat beda sekali untuk kali ini.
"Lo! Apaan sih? Emang kenapa kalo gue suka sama lo? Harus gue teriak-teriak gitu!"
"Jadi lo gak sadar? Atau lo gak inget? Apa lo gak tau? Atau pura-pura gak tau?" Pertanyaan berentet ia ajukan padaku. Aku hanya menggeleng pelan karena memang tak tau apa-apa.
"Maksudnya apasih? Gue gak ngerti!" Aku menunjukan wajah bingungku padanya.
"Lo pernah nerima kiriman paket gak sih? Dan didalem itu ada suratnya, surat itu berisi tentang kaya seorang pengagum rahasia gitu. Awalnya gue nulis inisial gue, R. Terus gue nulis inisial lengkap gue, RD, tapi lama-lama gue nulis nama lengkap gue, Rifki Diantoro. Tapi lo gak pernah respon, peka aja engga. Dan karna itu gue kesel dan ilfil banget sama lo!" Jelasnya panjang. Aku mengangguk paham. Namun aku bingung, sumpah demi apapun aku tak pernah menerima kiriman apapun! Apalagi dari Rifki.
"Sumpah, Ki. Gue gak pernah nerima itu semua. Lo ngirim ke alamat rumah gue?" Tanyaku bingung.
"Iya, gue ngirim kerumah lo."
***
Aku dan Rifki berjalan tergesa menyusuri kantor tempat Kak Fitri bekerja. Ku ketuk dengan sopan pintu ruangan kerja Kak Fitri. Lalu kemudian kami berdua masuk.
"Keyra? Ada apa?" Tanya Kak Fitri bingung, karena pasalnya, aku belum pernah datang ke tempat kerja Kak Fitri tanpa memberitahunya terlebih dahulu.
"Kak, tolong jawab jujur. Apa Kakak pernah nerima kiriman paket beserta suratnya dari orang bernama Rifki?" Tanyaku to the point.
"Maksud kamu apa? Kamu nuduh Kakak?" Kak Fitri langsung menatapku gahar. Selalu begitu! Mengapa Kak Fitri pun ikut bersikap seperti ini padaku?
"Aku gak nuduh, tapi.."
"Kak, gue orang yang namanya Rifki. Kalo emang lo yang nerima kiriman dari gue itu, ayolah jujur. Jahat banget lo ngambil hak adek sendiri kalo emang bener." Ceplos Rifki memotong omongan Keyra.
"Ehh lo anak kecil songong lo kalo ngomong! Asal nuduh aja!"
Mata Rifki seakan mengarah pada meja kerja Kak Fitri yang terdapat bingkai, serta boneka teddy bear berwarna coklat. Ia menyorotkan matanya, memperjelas penglihatannya, kemudian mengambil benda itu.
"Nah! Ini, boneka sama bingkai, ini dari gue buat Keyra. Kenapa ada disini?" Skak mati! Kini Kak Fitri seolah bingung harus menjawab apa? Ia tampak telah tertangkap basah ketahuan mengambil kiriman dari Rifki.
"Ini? Ini.. eee..eee... Iya gue yang nerima semua ini. Gue ilfil sama lo, Key. Karena, semasa Mama idup lo selalu dibanggain sama dia, tapi lo penyebab kematian dia! GUE BENCI BANGET SAMA LO, KEY!" Tangan Kak Fitri menunjuk-nunjuk padaku. Matanya menatapku dengan tatapan begitu benci. Tuhan, sehina itukan aku sehingga keluargaku sendiri sebenci ini padaku?
"Alahh, dasar bandit! Pake acara ngeles lagi, udah lah, Key. Pergi yuk, semuanya udah jelas kan?" Rifki berusaha membelaku, dan menariku untuk keluar. Namun aku enggan untuk keluar.
"Stop, Kak! Kenapa sih? Semuanya nyalahin aku, selalu aku yang jadi tersangka di keluarga ini? Seandainya aku bisa milih, aku lebih baik mati dari pada kaya gini terus. Tapi aku cukup menghargai pengorbanan Mama, dia rela tertabrak karena ingin menolongku. Namun, jika aku tau akhirnya seperti ini. Kenapa gak aku aja yang MATI?!" Teriaku murka. Aku lelah, aku capek, jika harus seperti ini jadinya. Akupun manusia yang punya kesabaran dan aku rasa inilah batas kesabaranku.
"Yaudah, gak ada yang larang lo mati kok, lagian asal lo tau kenapa Papa sebenci itu sama lo! KARNA LO TUH BUKAN ANAK DIA! LO ITU ANAK OMO DETA, SELINGKUHAN MAMA! LO TUH BUKAN ANAK KANDUNG PAPA TAU GAK!" Degg.. Rasanya jantung ini seakan berhenti berdetak mendengar itu, dadaku serasa sesak rasanya. Benarkah itu?
"FITRI! KAMU ITU!" Gentakan suara tak terduga itu datang dari arah pintu ruangan Kak Fitri. Aku dan Kak Fitri sontak menengok.
"Papa? Bener yang di bilang Kak Fitri?" Tanyaku dengan nada bicara yang begitu pelan. Mataku yang kian memerah rasanya ingin sekali mengeluarkan air mata. Namun sebisa mungkin aku harus kuat. Untuk kali ini saja.
Rifki menggenggam erat tangan kanannku. Tangan dinginnya itu entah mengapa terasa begitu hangan saat menggenggam tanganku?
"Keyra? Maafkan Papa, maaf jika selama ini Papa selalu mengomei kamu. Kamu itu anak Papa, anak Papa dan Mama." Papa langsung memeluku. Tuhan, beginikah rasanya dipeluk oleh seorang Papa? Mengapa aku baru merasakannya? Aku rasa, ini adalah kali pertama sejak aku lahir dipeluk oleh Papa.
"Tapi, Pa. Apa maksud Ka Fitri?" Aku masih penasaran dengan apa yang dikatakan Ka Fitri. Lagi pula, aku seperti melihat kebohongan dalam mata Papa.
"Pa! Udahlah, kasih tau aja dia semuanya. Lagi pula sekarang emang udah jelas kan?!" Suara Ka Fitri terdengar begitu lantang diruangan ini. Ku lihat, Rifki hanya bingung melihat percakapan ini.
"Fitri! Hentikan!" Gentak Papa murka. Ka Fitri pun langsung terdiam.
"Papa, tolong jelasin ke aku. Apa maksud Ka Fitri, Pa? Siapa aku sebenarnya?" Aku menggugat Papa untuk memberitahuku.
"Maafkan Papa, Key. Memang dulu Mama kamu pernah mengandung anak dari saingan bisnis Papa, namanya Deta. Dan anak itu adalah kamu." Ucap Papa dengan perasaan tak tega.
Ini bukan mimpikan? Ini nyata? Tuhan! Apalagi cobaan yang sedang kau berikan pada hamba? Mengapa kenyataan ini begitu pahit?!
Aku hanya terdiam. Perih sekali rasanya mengetahui kenyataan ini. "Aku sayang Papa." Aku langsung memeluk Papa lagi. Papa-pun membalas pelukanku.
"Papa juga sayang kamu, Key." Balas Papa.
***
"Sekarang semuanya udah jelas, Kan?" Rifki menggenggam erat tanganku saat sedang berjalan-jalan di hutan mangrove.
"Makasih ya, Ki. Aku gak nyangka kamu bisa begini ke aku." Aku tersenyum, senyum yang lepas dan tanpa beban, karena kejadian demi kejadian barusan seakan membuat perasaanku lega luar biasa. Ternyata hidupku tidak selamanya suram dan kelam, ternyata Tuhan juga memberikan aku kebahagiaan yang tak pernah kuduga sama sekali.
"Terus, gimana?"
Aku menoleh mendengar pertanyaan Rifki, ku tatap wajah tampannya itu dengan tatapan bingung. "Gimana apanya?"
"Em, itu, kita?"
Aku tak menjawab lagi, karena ku rasa Rifki mau melanjutkan ucapannya. Aku menanti dengan sabar, namun yang aku dapat hanya melihat Rifki sedang meremat tangannya dengan wajah sedikit pucat.
Secara mendadak Rifki menghentikan jalannya, yang otomatis membuatku juga menghentikan jalanku. Aku menoleh kearahnya semakin bingung, lalu perlahan, dengan lembut, Rifki memutar tubuhku dengan memegangi kedua pundaku. Kini dengan begitu yakin Rifki menatapku, mengunci pandanganku, membuatku enggan melihat hal lain selain mata indah yang ada di hadapanku ini. Sejenak aku terpaku, oh, ini sungguh indah. Aku bersumpah, tidak ada hal yang lebih indah dan menyenangkan di bandingkan menatap mata Rifki dalam radius sedekat ini. Meski aku harus berperang melawan detak jantungku yang meledak ledak tak keruan.
"Key," panggilnya lembut, saking lembutnya membuat bulu kuduku berdiri dengan serentak. Perlahan Rifki menarik tanganku, tanpa mengalihkan pandangannya dari mataku. "Maaf yaa, buat semua hal yang udah terlanjur terjadi kemarin." Rifki menghembuskan nafas beratnya, seolah ia sangat menyesali perbuatannya yang lalu itu. "Setelah kita tau sama tau, gue pengen hubungan kita yang mulai membaik ini bisa lebih dalem lagi. Gue juga gak tau saat ini lo nyebut gue siapa lo. Temen? Kurang pantes setelah apa yang gue perbuat kemarin. Gue emang lancang, jadi temen aja gak pantes, apalagi, emm.." Rifki menggantungkan ucapannya, tanpa ada niatan mencela aku masih menunggunya. "Tapi gue bener bener sayang sama lo, Key. Gue pengen ngelindungin lo, gue pengen selalu ada di sisi lo, gue pengen lo jadi pacar gue.."
Dapat kulihat kini Rifki menatapku dengan penuh harap, meski aku sudah tau sedari awal arah pembicaraan ini, tetap saja aku masih shock. Aku masih ingat beberapa hari yang lalu sikap Rifki masih kasar terhadapku, dan melihatnya kini melembut bahkan menyatakan perasaannya padaku seperti melihat mimpi yang menjadi kenyataan.
"Key, gimana?" Rifki bertanya dengan suara takut saat aku sama sekali belum bersuara.
"Seperti yang lo bilang, kita kan udah tau sama tau. Gak ada alesan buat gue nolak lo." Aku mengangguk sambil tersenyum padanya, dengan gerakan cepat Rifki segera menarikku kedalam pelukannya.
Tuhan, ternyata kenyataan ini benar benar indah.
-END-
@HildaWardani_ (twitter and instagram)
Thanks for reading, see you :*
Penulis: Hilda Wardani
***
Perlahan ku pejamkan kelopak mataku ini, tak terasa air mata ini refleks turun dari mataku yang telah sayu ini. Menangis! Rasanya, menangis ditengah hujan aku sangat menyukainya. Karena takan ada yang megetahui bahwa kini aku sedang menangis.
Perih, rasanya perih sekali perjalanan hidup ini. Ohh tidak! Rasanya lebih tepat itu jalan hidupku! Aku melihat orang lain hidup bahagia, penuh senyum, canda, dan tawa. Serta hidup dikelilingi dengan orang yag dicintainya? Sedangkan aku? Rasanya aku tak pernah melihat orang-orang yang aku cintai tersenyum untukku. Hal yang selalu dilakukan mereka adalah, mengejeku, mengomeliku, dan menatapku dengan tatapan yang sangat mengerikan. Sesedih itukah hidupku? Yah, tapi aku masih bersyukur. Karena Tuhan memberiku kesabaran yang lebih sehingga aku masih bertahan hingga saat ini.
Plangg.. Botol minuman kaleng dengan mulus mengenai puncak kepalaku. Aku menoleh pada koridor Kampus yang kurasa arah dari lemparan itu.
"Ehh dia nih yang lempar!" Seorang lelaki menunjuk teman disebelahnya.
"Bohong, dia tuh yang lempar." Teman yang tadi ditunjuk kini menyalahkan temannya yang tadi.
"Apaan? Itukan minuman elo?"
"Tapi lo yang lempar!"
Ajang salah-salahan mereka itu rasanya masih berlanjut. Namun kupingku serasa panas untuk mendengarkannya. Karena mereka tidak akan mengakuinya. Tapi aku tau, mereka sengaja bersikap seperti itu. Bahkan tadipun aku tau bahwa mereka sengaja melemparku botol minuman. Rifki dan Tiko, itulah mereka. Dua orang yang selalu sinis terhadapku, hanya karena aku lebih dipercaya dosen dibandingkan seorang yang bernama Rifki itu, sedang Tiko, selaku teman Rifki jelas berada dipihak Rifki. Tahukah engkau bagaimana rasanya dibenci dengan orang yang kau cintai? Selalu ditatap sinis dengannya? Diperlakukan semaunya? Dan aku, hanya bisa diam! Karena aku tak cukup punya keberanian menghadapi itu semua.
***
"Anak kuliahan, pulang-pulang basah kuyup? Kamu kuliah, apa jadi kuli pasar sih? Emang Universitasnya bocor?!" Sambutan yang langsung memeking ditelinga itu terdengar begitu nyaring ketika aku menutup kembali pintu rumah. Aku terdiam sambil menunduk.
"Tapikan, Keyra kebasahan waktu turun angkot, Pa." Sautku pelan.
"Pinter, masih ngejawab pula! Kamu itu memang anak kurang ngajar!" Seorang yang tadi ku panggil Papa itu langsung melotot kepadaku.
Plakk, satu tamparan yang sudah tak asing ku terima itu, kini lagi-lagi menampar pipiku. Aku tak bisa melawan. Hanya menitihkan air mata, menahan sakit yang kurasakan.
Dengan segera, aku berlari menuju kamarku. Kututup rapat-rapat pintu kamarku, dan ku kunci dari dalam. Refleks akupun menjatuhkan diri sambil bersender pada pintu. Ku tenggelamkan kepalaku dikedua lututku.
"Hiks, hiks, kenapa hidupku seperih ini, Tuhan?" Ucapku serak, sambil menangis tersedu-sedu meratapi semua kejadian yang menimpaku.
***
Matahari telah tampak menyinari bumi, setiap insan yang semula terlelap-pun kini mulai terbangun dari tidurnya, mulai melakukan aktifitasnya. Tak ada bedanya denganku, pagi ini aku awali dengan sarapan bersama Papa, Adin, dan Kak Fitri. Kak Fitri adalah Kakaku, sedang Adin adalah adikku. Tetapi, Papa seperti membedakan kasih sayangnya terhadap kami. Kasih sayang yang berlimpah selalu Papa berikan untuk Adin dan Kak Fitri, apapun akan Papa berikan jika mereka meminta sesuatu. Tetapi teriakan dan tamparan Papa selalu tujukan untukku. Mama? Mama telah berpulang pada sisi Tuhan, dan Papa selalu menganggap akulah penyebab kecelakaan itu.
"Pa, aku nanti malem mau nge-band sama temen-temenku. Mungkin pulang agak malam." Adin seperti meminta ijin pada Papa.
"Hm, aku juga ada kerjaan lembur nih, Pa." Kak Fitri menimpali.
"Yasudah, Papa ngerti kok." Saut Papa bijak.
Aku yakin seribu persen, jika aku bilang bahwa aku akan pulang telat karena mengerjakan tugas, Papa pasti akan marah.
"Pa, aku juga ada tu.."
"Kamu mau beralasan lagi, Key? Gak ada main buat kamu! Pulang kuliah, langsung kerumah!" Lihatlah! Dugaanku benar, Adin dan Kak Fitri hanya menatap iba kepadaku. Namun mereka tak pernah peduli akan diriku.
***
Dari jauh, aku merasa ada tatapan mengerikan yang menatapku. Sinis sekali rasanya. Namun aku berusaha bersikap santai dan berjalan biasa menyusuri koridor kampus ini. Sesampainya didepan perpustakaan, dua orang lelaki kini menjegatku. Itulah mereka, Rifki dan Tiko.
"Maksud lo apa-apaan? Mau gue puji gitu? Dengan cara lo ngundurin diri di ajang lomba nanti, dan di gantiin sama gue?" Rifki langsung mengomeliku dengan nada sinis. Tuhan! Tak bisakah sedikit saja ia bicara lebih lembut padaku? Sakit sekali rasanya bila terus-terusan aku diperlakukan seperti ini olehnya, oleh orang yang aku cintai selama ini.
"Gue, gue emang gak bisa ikut itu. Karena gue ada acara lain, Ki." Aku berusaha menatap mukanya.
"Alahh, bilang aja kalo lo mau caper ama Dosen!" Rifki mendorong pundaku kebelakang, hingga menyebabkan aku tersungkur ke lantai. Lalu kemudian ia pergi meninggalkanku.
Seluruh mata yang ada disitu menatapku bagaikan tontonan. Sedang Tiko yang biasanya mengikuti Rifki justru malah membantuku berdiri.
"Lo gapapa, Key? Maafin temen gue yah, dia udah ketelaluan banget inimah." Tiko berjongkok untuk menyamaiku. Lalu ia membantuku berdiri. Aku hanya membalas senyuman seraya mengucakpak terima kasih.
"Makasih, Ko. Udah gapapa."
***
Bugh..
Satu tonjokan mengenai wajah tampan Rifki. Dengan penuh amarah Tiko menarik kerah baju Rifki.
"Apa-apaan lo, Ko? Seenaknya nampar gue gini?" Tany Rifki bingung.
"Lo keterlaluan, Rif! Gak seharusnya lo begitu sama Keyra!"
"Jadi, lo belain Keyra? Astaga, lo sakit ya? Atau, lo suka sama cewek aneh itu?!" Wajah Rifki terlihat murka seketika mendengar Tika berbicara.
"Gue gak sakit! Justru sekarang gue ngerti, lo yang sakit! Apa lo kata? Gue suka sama Keyra? Tuhkan, ini bener-bener lo yang sakit. Lo nyadar gak sih, kalo Keyra tuh SUKA SAMA LO!" Tiko sedikit menaikan nada bicaranya ketika diakhir.
"Apaansih? Ngaco lo ngomong!"
"Mata lo pake, lo gak bisa liat apa tatap an dia ke elo gimana?! Atau lo buta?!"
"Gak! Gak mungkin!" Rifki menggelengkan kepalanya seraya tidak percaya.
***
"Kenapa lo gak bilang! Kenapa lo gak pernah ngomong? Kalo lo tuh suka sama gue?!" Dari arah belakang ku dengar suara gentakan menggema. Perlahan aku menoleh, sambil menghapus sebagian air mataku.
"Rifki? Lo?" Aku terkejut, seketika ku tau bahwa Rifki berbicara seperti tadi.
"Keyra, lo nangis?" Ia mendekat padaku dengan tatapan khawatir. Tatapannya, sungguh sangat beda sekali untuk kali ini.
"Lo! Apaan sih? Emang kenapa kalo gue suka sama lo? Harus gue teriak-teriak gitu!"
"Jadi lo gak sadar? Atau lo gak inget? Apa lo gak tau? Atau pura-pura gak tau?" Pertanyaan berentet ia ajukan padaku. Aku hanya menggeleng pelan karena memang tak tau apa-apa.
"Maksudnya apasih? Gue gak ngerti!" Aku menunjukan wajah bingungku padanya.
"Lo pernah nerima kiriman paket gak sih? Dan didalem itu ada suratnya, surat itu berisi tentang kaya seorang pengagum rahasia gitu. Awalnya gue nulis inisial gue, R. Terus gue nulis inisial lengkap gue, RD, tapi lama-lama gue nulis nama lengkap gue, Rifki Diantoro. Tapi lo gak pernah respon, peka aja engga. Dan karna itu gue kesel dan ilfil banget sama lo!" Jelasnya panjang. Aku mengangguk paham. Namun aku bingung, sumpah demi apapun aku tak pernah menerima kiriman apapun! Apalagi dari Rifki.
"Sumpah, Ki. Gue gak pernah nerima itu semua. Lo ngirim ke alamat rumah gue?" Tanyaku bingung.
"Iya, gue ngirim kerumah lo."
***
Aku dan Rifki berjalan tergesa menyusuri kantor tempat Kak Fitri bekerja. Ku ketuk dengan sopan pintu ruangan kerja Kak Fitri. Lalu kemudian kami berdua masuk.
"Keyra? Ada apa?" Tanya Kak Fitri bingung, karena pasalnya, aku belum pernah datang ke tempat kerja Kak Fitri tanpa memberitahunya terlebih dahulu.
"Kak, tolong jawab jujur. Apa Kakak pernah nerima kiriman paket beserta suratnya dari orang bernama Rifki?" Tanyaku to the point.
"Maksud kamu apa? Kamu nuduh Kakak?" Kak Fitri langsung menatapku gahar. Selalu begitu! Mengapa Kak Fitri pun ikut bersikap seperti ini padaku?
"Aku gak nuduh, tapi.."
"Kak, gue orang yang namanya Rifki. Kalo emang lo yang nerima kiriman dari gue itu, ayolah jujur. Jahat banget lo ngambil hak adek sendiri kalo emang bener." Ceplos Rifki memotong omongan Keyra.
"Ehh lo anak kecil songong lo kalo ngomong! Asal nuduh aja!"
Mata Rifki seakan mengarah pada meja kerja Kak Fitri yang terdapat bingkai, serta boneka teddy bear berwarna coklat. Ia menyorotkan matanya, memperjelas penglihatannya, kemudian mengambil benda itu.
"Nah! Ini, boneka sama bingkai, ini dari gue buat Keyra. Kenapa ada disini?" Skak mati! Kini Kak Fitri seolah bingung harus menjawab apa? Ia tampak telah tertangkap basah ketahuan mengambil kiriman dari Rifki.
"Ini? Ini.. eee..eee... Iya gue yang nerima semua ini. Gue ilfil sama lo, Key. Karena, semasa Mama idup lo selalu dibanggain sama dia, tapi lo penyebab kematian dia! GUE BENCI BANGET SAMA LO, KEY!" Tangan Kak Fitri menunjuk-nunjuk padaku. Matanya menatapku dengan tatapan begitu benci. Tuhan, sehina itukan aku sehingga keluargaku sendiri sebenci ini padaku?
"Alahh, dasar bandit! Pake acara ngeles lagi, udah lah, Key. Pergi yuk, semuanya udah jelas kan?" Rifki berusaha membelaku, dan menariku untuk keluar. Namun aku enggan untuk keluar.
"Stop, Kak! Kenapa sih? Semuanya nyalahin aku, selalu aku yang jadi tersangka di keluarga ini? Seandainya aku bisa milih, aku lebih baik mati dari pada kaya gini terus. Tapi aku cukup menghargai pengorbanan Mama, dia rela tertabrak karena ingin menolongku. Namun, jika aku tau akhirnya seperti ini. Kenapa gak aku aja yang MATI?!" Teriaku murka. Aku lelah, aku capek, jika harus seperti ini jadinya. Akupun manusia yang punya kesabaran dan aku rasa inilah batas kesabaranku.
"Yaudah, gak ada yang larang lo mati kok, lagian asal lo tau kenapa Papa sebenci itu sama lo! KARNA LO TUH BUKAN ANAK DIA! LO ITU ANAK OMO DETA, SELINGKUHAN MAMA! LO TUH BUKAN ANAK KANDUNG PAPA TAU GAK!" Degg.. Rasanya jantung ini seakan berhenti berdetak mendengar itu, dadaku serasa sesak rasanya. Benarkah itu?
"FITRI! KAMU ITU!" Gentakan suara tak terduga itu datang dari arah pintu ruangan Kak Fitri. Aku dan Kak Fitri sontak menengok.
"Papa? Bener yang di bilang Kak Fitri?" Tanyaku dengan nada bicara yang begitu pelan. Mataku yang kian memerah rasanya ingin sekali mengeluarkan air mata. Namun sebisa mungkin aku harus kuat. Untuk kali ini saja.
Rifki menggenggam erat tangan kanannku. Tangan dinginnya itu entah mengapa terasa begitu hangan saat menggenggam tanganku?
"Keyra? Maafkan Papa, maaf jika selama ini Papa selalu mengomei kamu. Kamu itu anak Papa, anak Papa dan Mama." Papa langsung memeluku. Tuhan, beginikah rasanya dipeluk oleh seorang Papa? Mengapa aku baru merasakannya? Aku rasa, ini adalah kali pertama sejak aku lahir dipeluk oleh Papa.
"Tapi, Pa. Apa maksud Ka Fitri?" Aku masih penasaran dengan apa yang dikatakan Ka Fitri. Lagi pula, aku seperti melihat kebohongan dalam mata Papa.
"Pa! Udahlah, kasih tau aja dia semuanya. Lagi pula sekarang emang udah jelas kan?!" Suara Ka Fitri terdengar begitu lantang diruangan ini. Ku lihat, Rifki hanya bingung melihat percakapan ini.
"Fitri! Hentikan!" Gentak Papa murka. Ka Fitri pun langsung terdiam.
"Papa, tolong jelasin ke aku. Apa maksud Ka Fitri, Pa? Siapa aku sebenarnya?" Aku menggugat Papa untuk memberitahuku.
"Maafkan Papa, Key. Memang dulu Mama kamu pernah mengandung anak dari saingan bisnis Papa, namanya Deta. Dan anak itu adalah kamu." Ucap Papa dengan perasaan tak tega.
Ini bukan mimpikan? Ini nyata? Tuhan! Apalagi cobaan yang sedang kau berikan pada hamba? Mengapa kenyataan ini begitu pahit?!
Aku hanya terdiam. Perih sekali rasanya mengetahui kenyataan ini. "Aku sayang Papa." Aku langsung memeluk Papa lagi. Papa-pun membalas pelukanku.
"Papa juga sayang kamu, Key." Balas Papa.
***
"Sekarang semuanya udah jelas, Kan?" Rifki menggenggam erat tanganku saat sedang berjalan-jalan di hutan mangrove.
"Makasih ya, Ki. Aku gak nyangka kamu bisa begini ke aku." Aku tersenyum, senyum yang lepas dan tanpa beban, karena kejadian demi kejadian barusan seakan membuat perasaanku lega luar biasa. Ternyata hidupku tidak selamanya suram dan kelam, ternyata Tuhan juga memberikan aku kebahagiaan yang tak pernah kuduga sama sekali.
"Terus, gimana?"
Aku menoleh mendengar pertanyaan Rifki, ku tatap wajah tampannya itu dengan tatapan bingung. "Gimana apanya?"
"Em, itu, kita?"
Aku tak menjawab lagi, karena ku rasa Rifki mau melanjutkan ucapannya. Aku menanti dengan sabar, namun yang aku dapat hanya melihat Rifki sedang meremat tangannya dengan wajah sedikit pucat.
Secara mendadak Rifki menghentikan jalannya, yang otomatis membuatku juga menghentikan jalanku. Aku menoleh kearahnya semakin bingung, lalu perlahan, dengan lembut, Rifki memutar tubuhku dengan memegangi kedua pundaku. Kini dengan begitu yakin Rifki menatapku, mengunci pandanganku, membuatku enggan melihat hal lain selain mata indah yang ada di hadapanku ini. Sejenak aku terpaku, oh, ini sungguh indah. Aku bersumpah, tidak ada hal yang lebih indah dan menyenangkan di bandingkan menatap mata Rifki dalam radius sedekat ini. Meski aku harus berperang melawan detak jantungku yang meledak ledak tak keruan.
"Key," panggilnya lembut, saking lembutnya membuat bulu kuduku berdiri dengan serentak. Perlahan Rifki menarik tanganku, tanpa mengalihkan pandangannya dari mataku. "Maaf yaa, buat semua hal yang udah terlanjur terjadi kemarin." Rifki menghembuskan nafas beratnya, seolah ia sangat menyesali perbuatannya yang lalu itu. "Setelah kita tau sama tau, gue pengen hubungan kita yang mulai membaik ini bisa lebih dalem lagi. Gue juga gak tau saat ini lo nyebut gue siapa lo. Temen? Kurang pantes setelah apa yang gue perbuat kemarin. Gue emang lancang, jadi temen aja gak pantes, apalagi, emm.." Rifki menggantungkan ucapannya, tanpa ada niatan mencela aku masih menunggunya. "Tapi gue bener bener sayang sama lo, Key. Gue pengen ngelindungin lo, gue pengen selalu ada di sisi lo, gue pengen lo jadi pacar gue.."
Dapat kulihat kini Rifki menatapku dengan penuh harap, meski aku sudah tau sedari awal arah pembicaraan ini, tetap saja aku masih shock. Aku masih ingat beberapa hari yang lalu sikap Rifki masih kasar terhadapku, dan melihatnya kini melembut bahkan menyatakan perasaannya padaku seperti melihat mimpi yang menjadi kenyataan.
"Key, gimana?" Rifki bertanya dengan suara takut saat aku sama sekali belum bersuara.
"Seperti yang lo bilang, kita kan udah tau sama tau. Gak ada alesan buat gue nolak lo." Aku mengangguk sambil tersenyum padanya, dengan gerakan cepat Rifki segera menarikku kedalam pelukannya.
Tuhan, ternyata kenyataan ini benar benar indah.
-END-
@HildaWardani_ (twitter and instagram)
Thanks for reading, see you :*
Komentar
Posting Komentar