Mencintaimu Dalam Diam

Dentuman suara musik menggema begitu kencang di telinga Asya. Sepasang headset tercantol di telinganya. Alunan lagu-lagu yang berada di play list handphone nya berputar secara bergantian. Mata Asya terpejam, seraya menikmati alunan musik yang terdengar di telinganya itu. Mulutnya sesekali mengikuti lagu yang berputar di telinganya. Suaranya yang standar, sama sekali gak bagus tapi lebih condong ke fales, tapi Asya pede aja bernyanyi sesuka hatinya di dalam kamarnya ini.

Brakk.. pintu kamar Asya terbuka secara tiba-tiba, menimbulkan suara yang cukup kencang. Namun Asya sama sekali tak mengubah posisinya karena hal itu. Ia masih berbaring di kasurnya sambi terus bernyanyi mengikuti alunan musik di telinganya. Entah Asya tak mendengarnya, atau Asya malas menoleh karena sudah tau yang memasuki kamarnya itu.

"ASYAAA..." Suara itu berteriak nyaring, memenuhi seluruh sudut kamar Asya. Asya yang masih mengenakan headset tetap tidak merubah posisinya. Benarkah Asya tidak mendengarkan suara cempreng itu? Atau mungkin Asya pura-pura tak mendengarnya.

Gadis yang tadi berteriak memanggil nama Asya kini berlari menghampiri tempat tidur Asya. Ia melompat, lalu terduduk di tempat tidur Asya. Gadis ini lalu mencabut headset yang masih terpasang di telinga Asya. Sontak mata Asya pun terbuka, ia bangun dari posisi berbaringnya dan menatap gadis itu dengan jengkel.

"Ribet!" Omel Asya kesal. Matanya menatap gadis ini dengan tatapan gaharnya.

Gadis bernama Silfa ini malah nyengir, menunjukan sederet gigi putihnya pada Asya. Silfa malah cekikin gak jelas liat Asya yang kesal padanya. "Haha! Makanya jangan suka sok budeg! Nanti budeg beneran sukurin lo!" Silfa mengoceh, seolah sok menasihati Asya. Karena Silfa tau, Asya hanya pura-pura tak mendengar Silfa yang sudah berteriak memanggil nama Asya.

Asya dan Silfa memang sudah berteman cukup lama. Faktor kedekatan rumah mereka lah yang membuat mereka akrab. Namun hingga saat ini, hingga mereka beranjak dewasa dan menyandang sebutan mahasiswa, Asya dan Silfa belum pernah satu sekolah, bahkan kini mereka tak satu kampus. Bukannya mereka tak ingin untuk satu tempat pendidikan, tapi emang selera mereka berdua beda-beda. Meskipun sahabatan, tapi mereka berdua adalah dua orang yang berbeda yang mempunya keinginan dan cita-cita yang berbeda pula. Meskipun mereka bersahabat cukup lama, namun tak ada istilah sehati, sehidup, semati. Kalo kata Asya sih, mending gue hidup elo mati duluan. Emang kurang ngajar si Asya.

"Gue tuh cuma nengok kalo di panggil orang. Nah, emang lo orang?" Dengan gaya songong Asya kembali menyaut. Emang dasar udah akrab, jadi ngomong asal aja seenak jidatnya. Toh mereka udah tau sama tau dan ngerti serta paham dengan omongan mereka masing-masing.

"Terserah lo mau ngomong apa. Yang jelas, intinya gue kesini cuma mau ngasih tau elo kalo..."

"Pasti ngomongin si Rafa lagi. Heuhh, gak jauh deh." Asya memotong omongan Silfa dengan cepat. Membuat Silfa gondok dan kesal pada Asya. Yaa... meski tebakan Asya memang benar.

"Ish, elo mah gue ngomong di potong-potong. Kata dosen gue, memotong pembicaraan orang itu nggak sopan!" Silfa berbicara dengan gaya bicaranya yang senang sekali membawa-bawa omongan dosen tercintanya. Nggak tau kebiasaan ini sejak kapan di rutini Silfa.

"Tapi kata dosen gue gapapa. Udah lanjutin lo mau cerita apa tentang Rafa?" Asya kembali mengembalikan topik yang sudah melenceng. Gitu-gitu ternyata Asya kepengen tau juga.

"Jadi gini, Sya. Kan tadi gue ketemu temem SMA gue. Terus iseng-iseng gue nanya sekarang Rafa kuliah dimana. And you know where? Di kampus lo, Sya! Ternyata dia satu kampus sama lo!" Silfa menceritakan tentang Rafa, sang pujaan hatinya itu, pada Asya secara antusias. Dengan suara lebay dan tangannya yang gak bisa diem kalo lagi cerita, kayak baca puisi gitu. Mungkin biar dapet penghayatannya kali.

"Oh yaa? Tapi gue gak pernah denger ada yang namanya Rafa di kampus. Mungkin beda fakultas kali sama gue? Ohh iya tapi adadeh yang namanya Rafa, satu angkatan sama gue. Yang orangnya item, pendek, gendut, dan giginya rada tonggos. Itu Rafa yang lo puja-puja itu?" Asya mulai terlarut dalam cerita Silfa. Ia berusaha mengingat sambil menebak-nebak soal Rafa yang Silfa maksud.

"Ihb bukan! Rafa gue tuh cakep, tinggi, putih, ahh pokoknya keren deh."

"Dia di kampus kuliah kan?" Asya bertanya pertanyaan yang rada gak masuk akal. Kayaknya omongannya udah mulai mau iseng lagi nih.

"Iyalah!" Sentak Silfa kesal.

"Yee, siapa tau tukang pel. Abis gue kan gak apal nama-nama tukang pel di kampus." Tuhkan, Asya malah becanda nyautinnya. Mereka emang kalo ngobrol gak pernah serius.

Silfa malah ketawa sambil mencibir. Abis Asya emang ada-ada aja, gak kebayang deh kalo Rafa yang amat di sukainya itu jadi tukang pel. Ada gitu tukang pel seganteng Rafa gue? Batin Silfa.

Rafa? Yaa! Satu nama itu yang sering bahkan mungkin selalu Silfa bicarakan pada Asya. Sosok lelaki yang pernah satu kelas dengannya semasa SMA. Yang diam-diam di taksir Silfa. Yaa diam-diam, karena Silfa cuma bisa seterbuka ini bicarain tentang Rafa ke Asya. Rafa nya pun sama sekali nggak tau kalo ada seseorang yang sangat mengaguminya seperti ini. Silfa, dialah orang itu. Dengan antusiasnya Silfa selalu menceritakan tentang Rafa pada Asya, berangan-angan tentang Rafa, dan meskipun Silfa merasa memiliki Rafa adalah suata hal yang tidak mungkin, tapi Silfa tetap berharap dan berharap. Mungkin suatu saat Tuhan akan mendengarkan doanya selama ini. Doanya yang tak pernah terlepas dari sosok Rafa pula.

Silfa masih terus bercerita, dan berusaha menyuruh Asya mengingat-ngingat tentang Rafa yang satu kampus dengannya. Tapi tetap saj Asya kebingungan yang mana itu Rafa yang di maksud Silfa. Mungkin aja Rafa ganti nama kali pas kuliah disitu.

"Ehh tapi, gue tau juga yang namanya Rafael. Iya bukan sih? Bukan yah? Elo nyarinya Rafa sih." Akhirnya, satu nama yang sebenernya dari tadi Asya pikirin, terlontar keluar dari mulut Asya. Dengan ragu Asya menebak nama itu, matanya menatap Silfa ketakutan. Berharap jawaban tidak dari Silfa. Yaa, semoga memang bukan Rafael yang Silfa maksud.

"Rafael Landry..." Pelan-pelan Silfa mengucapkan nama Rafa. Sambil inget-inget. Soalnya Silfa juga agak lupa sama nama Rafa. Abis Silfa biasa manggilnya Rafa doang.

"Tanubrata." Asya melanjutkan omongan Silfa. Dari dua nama yang di sebutkan Silfa tadi Asya sudah terlihat ketakutan. Dan kayaknya sekarang Asya yakin kalo Rafa yang di maksud Silfa itu pasti emang Rafael, teman sekampusnya.

"Iya! Bener banget, Sya! Namanya Rafael Landry Tanubrata. Lu kenal?" Seketika Silfa histeris dan kegirangan. Tangannya mengguncang bahu Asya, tak sabar mendengar jawaban Asya. Apakah Asya mengenalnya atau tidak.

Sesaat Asya terdiam, melihat reaksi Silfa yang begitu bersemangat saat Asya melanjutkan nama lengkap Rafa. Asya memandang Silfa tak percaya. Bahkan Asya terlihat shock dengan reaksi Silfa. Padahal emang biasanya Silfa kayak gini kalo cerita soal Rafa ke Asya. Tapi, masalahnya yang ternyata di ceritain Silfa ini Rafael teman sekampus Asya. Asya kenal, kenal banget.

"Sya! Lo kenal kan?" Silfa menyentak Asya yang masih diam. Keliatan banget kalo Asya melamun karena shock seketika.

"Eng.. i..ii.. iya. Gue kenal." Asya baru tersadar akan lamunannya. Dengan ragu-ragu Asya menjawabnya.

"Yeyeeyeye.. ternyata elo kenal. Pokoknya gue besok mau ke kampus lo. Gak tau gimana caranya lo besok harus bikin gue ketemu sama Rafa tapi seolah-olah nggak sengaja. Yaa Asya? Please.. pokoknya lo harus mau." Pinta Silfa. Lagi-lagi suaranya terdengar antusias. Apalagi permintaannya kali ini akan mempertemukannya dengan Rafa. Pujaan hatinya selama ini, yang semenjak 2 tahun Silfa kuliah gak pernah ketemu lagi.

Asya terlihat mekirkan permintaan Silfa. Astaga! Bagaimana ini? Mengapa harus Rafael yang Silfa maksud. Asya berpikir sambil meracau dalam hati. Namun pikirannya seketika buyar, saat handphone yang tergeletak di sebelahnya itu bunyi, dari ringtone nya terdengar bahwa ada sms masuk. Asya pun segera mengambilnya dan menghentikan aktifitas berpikirnya.

'Gue lagi otw ke rumah lo"

Degg.. hati Asya berdetak dengan kencangnya saat membaca sms itu. Apalagi saat Asya tau siapa pengirimnya. Asya pun langsung panik. Namun ia berusaha rileks, karena di hadapannya kini ada Silfa yang menatapnya penuh harap.

Rafael mau ke rumahnya. Sebenernya di kesempatan kali ini Asya bisa aja mempertemukan Silfa dengan Rafael. Tapi masalahnya kalo Rafael ke rumag Asya pasti akan ada kejadian aneh yang Rafael ciptakan. Dan Silfa dilarang keras buat tau itu semua.

"Emm... bentar ya, Fa. Gue mau ke bawah bentar ngambil minum." Asya bangkit, berusaha mencari alasan untuk menghindar dari Silfa.

Silfa hanya mengiyakan.

Asya pun berjalan di luar kamarnya menuju tangga. Kamarnya yang memang berada di lantai dua, membuat Asya harua turun jika ingin ke dapur. Sambil turun tangga Asya berusaha menelpon Rafael. Namun naasnya Asya baru sadar, kalo Asya gak punya pulsa.

Saat turun dari tangga mata Asya melihat pada telpon rumah. Asya pun segera hendak menelpon Rafael. Asya pengen bilang kalo Rafael gak boleh ke rumahnya. Lagian tuh cowok kelakuannya ada-ada ajadeh. Batin Asya.

Tutt.. telpon pun mulai tersambung setelah Asya memasukan nomor telepon Rafael pada telpon rumahnya. Bibir Asya gak bisa diem, kumat kamit gak jelas menanti telponnya yang tak kunjung di angkat oleh Rafael.

"Hallo, Rafael." Asya segera memanggil nama Rafael saat Rafael sudah mengangkat telponnya.

"Kenapa, Sya?" Jawab Rafael di sebrang sana.

"Jangan ke rumah gue. Gue gak ada di rumah."

"Ohh yaudah, nanti gue nunggu juga gapapa." Jawaban Rafael bikin Asya keki. Ahh harus cari alesan apa lagi dong?

"Tapi gue perginya lama."

"Gapapa gue tungguin." Jawaban Rafael makin bikin Asya kebingungan. Ish, nih cowok maksa banget deh. Batin Asya geram.

"Gue nginep di rumah sodara gue. Lo mau nungguin?" Asya kembali mengutarakan alasannya yang di pikirkan secara ekspres saat itu juga.

"Hah? Lo lagi di rumah sodara lo?"

"Iya!"

"Kok nelponnya pake telpon rumah." Nahlo. Asya makin kebingungam saat bohongnya ternyata kurang rapih. Bego! Kok gue bego banget sih, gue kan nelpon pake telpon rumah yaa? Asya merutuki kebodohan dirinya sendiri. Skak mat deh, Asya gak tau harus cari alesan apa lagi. "Udah gak usah cari-cari alesan. Gue bakal tetep ke rumah lo kok. Bye, Asya." Tutt... telpon terputus. Rafael mematikannya begitu saja karena tak mau mendengar alasan Asya yang udah ketauan bohongnya.

Aduh, aduh, gimana dong? Asya makin bingung. Asya mondar-mandir kebingungan di depan meja telepon rumahnya sambil menggaruk rambutnya yang tak gatal. Sesekali ia melirik jam dinding yang terdapat di ruangan itu. Asya nambah panik, perjalanan dari rumah Rafael ke rumahnya kan gak terlalu jauh. Kalo bentar lagi nyampe gimana? Pikiran Asya makin kalang kabut.

Asya pun berlari menuju tangga dan menaiki anak tangga itu untuk menuju kamarnya. Wajahnya masih panik. Perlahan Asya membuka pintu kamarnya, terlihat Silfa sedang memainkan handphone nya sambil tidur-tiduran di kasurnya. Silfa terlihat senyam-senyum sendiri saat memainkan handphone nya.

"Fa, gue mau pergi. Mau ngerjain tugas." Ucap Asya yang pastinya berdusta.

"Yaudah." Jawab Silfa santai.

"Elu pulang lah. Nanti kamar gue di acak-acak." Asya berusaha santai, dan tetap berbicara dengan nada bahasanya yang ngotot kalo ngomong sama Silfa.

"Ohh. Jadi ceritanya ngusir?"

"Gue gak becanda, Fa. Seriuslah gue mau pergi ama temen gue. Pembantu gue lagi dapet tau, kerjaannya marah-marah mulu kalo liat kamar gue berantakan gara-gara elo." Wajah Asya kini berubah serius. Tapi Silfa malah terkekeh melihat ekspresi Asya yang tidak pantas serius.

"Dih, alay. Lo bilang kayak gitu gak becanda? Pembantu lo udah tua kali. Masa iya masih dapet? Bilang aja mau ngusir."

"Yaudah intinya lo cepetan pulang deh. Hush hush." Asya mendorong Silfa untuk segera keluar.

"Tapi jangan lupa besok yaa. Gue harus ketemu sama Rafa." Silfa kembali mengingatkan omongannya tadi.

"Iya bawel!"

***

Sudah setengah jam lebih Rafael duduk di ruang tamu rumah Asya. Mending kalo duduknya di temenin, nah ini? Asya nya malah sengaja lama-lama di dapur bikin minuman buat Rafael. Padahak Rafael juga udah haus banget nungguin minumannya gak dateng-datang.

Akhirnya Asya pun muncul dengan membawa nampan berisikan jus buatannya. Asya meletakan jus itu di atas meja. Lalu Asya pun duduk dan menatap Rafael datar. Tatapannya yang emang cuek kalo ke Rafael. Padahal Rafael selalu memberikan tatapan teduhnya melalui mata sipitnya.

"Mau ngapain?" Asya to the point nanya ke Rafael yang lagi menyeruput minuman yang barusan di bawa Asya.

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo, Sya." Suara Rafael mulai terdengar. Rafael tetap memancarkan tatapan teduhnya pada Asya yang tetap terlihat cuek.

"Yaudah ngomong." Saut Asya masih tetap cuek.

"Tapi sebelumnya lo harus dengerin gue nyanyi dulu yaa.." Rafael mengambil sebuah gitar yang sudah di siapkannya.

"Tadi katanya mau ngomong. Tapi kok malah nyanyi? Labil banget sih lo!" Cibir Asya melihat Rafael yang baru saja mau memetik gitarnya.

"Iyadeh apa kata lo aja. Gue labil. Tapi intinya lo dengerin gue. Dengerin apapun yang gue omongin. Kalo bisa dengernya pake hati."

"Dimana-mana denger tuh pake kuping bukan pake hati."

Asya komen terus. Rafael jadi gak nyanyi-nyanyi. Rafael sampe menghembuskan nafas beratnya saking ribetnya menghadapi Asya. "Yaudah terserah elo deh. Yang penting lo dengerin gue oke." Rafael pun hanya mengalah.

Perlahan Rafael memetik senar gitarnya. Matanya beralih kedua arah, dari gitar ke Asya. Terlihat Asya memperhatikan Rafael secara ogah-ogahan. Namun Rafael tetap memainkan gitarnya dengan sepenuh hati.

Mungkin hanya lewat lagu ini
Akan ku nyatakan rasa
Cintaku padamu, rinduku padamu, tak bertepi
Mungkin hanya sebuah lagu ini
Yang slalu akan ku nyanyikan
Sebagai tanda, betapa aku inginkan kamu


Sebait lagu di nyanyikan Rafael dengan sepenuh hati. Setelah selesai Rafael menaruh gitarnya kembali. Pandangannya kini dengan lekat menatap Asya. Mata sipitnya terlihat menatap Asya begitu penuh harap. Lagu yang barusan di nyanyikannya seakan menjadi ungkapan perasaannya selama ini.

"Sya, untuk ke sekian kali gue nyatain perasaan gue. Gue suka sama lo, Sya. Beneran suka, gak bohongan. Meski beribu kali lo nolak gue, gue gak akan nyerah, Sya. Gue sungguh-sungguh sama lo." Rafael mengutarakan perasaannya dengan sepenuh hati. Menatap mata Asya yang terlihat ketakutan untuk menatap Rafael. Namun Rafael masih tetap menatap Asya dengan lembut.

"Terus gue harus apa?" Jawab Asya enteng.

"Asya gue serius. Gue udah tau kok dari anak-anak kalo sebenernya lo suka kan sama gue? Tapi elo cuma mau liat keseriusan gue dulu. Gue beneran serius, Sya sama elo. Emang kenapa sih lo gak mau nerima gue?"

"Apa harus gue bilang alesan gue gak nerima lo? Gue akan jawab, setelah lo jawab pertanyaan gue. Kenapa lo harus suka sama gue? Harus cintanya sama gue?" Asya membalikan pertanyaan Rafael.

Rafael terdiam. Tak mampu membalas pertanyaan Asya. Pertanyaan yang memang tak perlu mendapatkan jawaban. Tak ada alasan akan hadirnya cinta. Dan tak pernah ada alasan pula buat Asya menolak Rafael. Hati Asya memang mengatakan untuk tidak menerima Rafael. Meski Asya pun mengerti sesungguhnya hatinya pun menginginkan Rafael. Namun kini Asya sadar, mengapa hatinya tidak pernah mengijinkan untuk menerima Rafael. Ternyata karena semua ini berhubungan. Andai saja dari awal Asya menerima Rafael. Apa yang akan terjadi dengan Silfa jika ia mengetahui semua ini?

"Gak ada alasan kan? Begitu juga sama gue. Gue juga nolak lo tanpa alasan. Bukan karena gue cinta atau gak cinta sama lo. Karena cinta bukan hal yang pantes di jadiin alasan." Asya menatap Rafael dengan pandangan yang beda. Berusaha menjelaskan tentang perasaannya. Bersikap dewasa menghadapi masalahnya.

"Gue ngerti. Tapi gue gak akan nyerah, Sya. Gue yakin suatu saat lo pasti akan cinta sama gue dan akan jadi pacar gue. Bahkan mungkin istri gue." Ucap Rafael penuh semangat, di iringi senyumannya yang begitu manis.

***

Teriknya mentari siang ini ternyata mampu membuat keringat mengucur di pelipis Asya. Berulang kali Asya meringis kegerahan, tak sabar menunggu Silfa yang katanya akan menjemputnya. Namun sekitar setengah jam sudah Asya menunggu, tanda-tanda kehadiran Silfa belum juga terlihat. Asya ingat bahwa hari ini ia harus mempertemukan Silfa dengan Rafa alias Rafael. Asya sudah pasrah apa yang akan terjadi, karena Asya pun tak tau apalagi yang harus di lakukan.

Kebetulan, Asya tau inilah yang di namakan kebetulan. Atau mungkin lebih tepatnya takdir. Tapi jika boleh menolak Asya ingin menolak takdir ini. Mengapa dari sekian banyak lelaki yang bernama Rafa, harus Rafael yang ternyata Rafa yang di maksud Silfa? Tapi, inilah takdir. Tak dapat di tolak meski kita tak menginginkannya. Namun pasti ada sebuah makna yang terselip dalam sebuah takdir kehidupan. Asya yakin, Tuhan telah menentukan takdir yang terbaik untuknya. Tuhan sudah sangat tau tentang hati dan keinginannya, dan Tuhan pasti sudah mengerti untuk takdir yang sudah di gariskan untuk Asya.

"Sya.." suara lembut yang sudah sangat familiar menggema di telinga Asya. Asya dapat merasakannya bahwa sang empunya suara itu kini tengah berada di sampingnya.

Asya menoleh, mendapati sosok yang lebih tinggi darinya sedang berdiri sambil menatapnya penuh arti. Rafael tersenyum melihat Asya yang menengok kearahnya. "Ahh kebetulan lo ada disini. Jadi gue gak perlu nyariin lo." Ucap Asya.

"Hah? Lo mau nyariin gue, Sya? Serius?" Rafael bertanya tak percaya. Ucapan Asya membuat hatinya terlonjak bahagia. Asya memang sangat cuek pada Rafael, makanya Rafael seneng banget pas denger Asya mau nyariin dia.

Asya mengalihkan pandangannya, pada sebuah mobil yang berhenti di sebrang jalan. Mobil milik Silfa, yang sangat di kenali Asya. Asya sama sekali tak menggubris omongan Rafael.

"Ikut gue!" Asya menarik tangan Rafael, membawanya menyebrang jalan. Rafael agak terkejut dengan sikap Asya. Matanya menatap genggaman tangannya dengan Asya.

Sebuah senyuman mengembang di bibir Rafael. Wanita yang amat di cintainya, yang selalu bersikap acuh padanya, ternyata secara sepihak kini menggandengnya. Mungkinkah? Perasaan cinta telah hadir di hati Asya. Mungkinkah Asya telah luluh dengan segala usaha yang Rafael lakukan untuk merebut hatinya. Rafael yang gigih dan pantang menyerah untuk berkali-kali menyatakan cintanya, meski berkali-kali pun Asya tak pernah menerima Rafael.

"Di mobil ada temen gue, yang mungkim lo kenal. Gue minta sama elo jangan ngomong macem-macem." Di perjalanan menyebrang Asya mengingatkan Rafael.

"Maksudnya? Macem-macem apaan?" Rafael bingung, tidak mengerti apa yang di maksud Asya. Genggaman tangan Asya pun mulai di lepaska saat mereka hampir sampai di sebrang.

"Lo jangan ngomong apa-apa tentang kita."

"Kita? Sya, elo... ya ampun? Jadi selama ini lo nganggep kalo kita.." Rafael menggantung kalimatnya. Ia tersenyum jail menatap Asya. Tapi ucapan Asya memang membuatnya seolah mereka berpacaran.

"Apaan sih? Pokoknya lo jangan ngomong macem-macem soal semuanya. Jangan berlagak kalo lo emang suka sama gue!" Sentak Asya karena kesal dengan pemikiran Rafael.

"Loh, emang kenapa?"

"Gue malu sama temen gue!"

Rafael pun hanya terdiam saat Asya berbicara seperti itu. Semiris itukah nasib Rafael, sampai Asya pun malu jika temannya tau bahwa Rafael menyukainya. Hanya menyukai, belum menjadi pacar. Segitu tidak sukanya kah Asya pada Rafael?

Silfa pun keluar dari mobilnya, saat melihat Asya yang sedang berdebat dengan Rafael. Matanya melihat Rafael tak percaya. Sosok itu tak ada yang berubah, masih tetap begitu menawan di matanya. Sosok yang selama ini di cari Silfa diam-diam, akhirnya Silfa mampu mendapatkan informasi tentang keberadaannya. Dan saat ini sosok itu berada di hadapannya.

"Lama banget sih lo!" Asya mengomel, saat Silfa sedanh asyik senyam-senyum sendiri memandangi Rafael.

"Gue kan juga baru pulang. Ehh, elo Rafa kan?" Silfa yang sebenarnya sudah tau bahwa itu Rafa berpura-pura baru tersadar, biar seolah bahwa semuanya ini kebetulan.

"Kok lo kenal gue sih?" Rafael menatap Silfa bingung. Ohh tidak! Mungkinkah Rafael tidak ingat siapa Silfa? Namun Silfa tak langsung berpikiran buruk pada Rafael, yaa namanya manusia pasti punya lupa. Lagipula Silfa sadar dirinya memang tidak terlalu penting untuk di ingat oleh Rafael.

"Dia temen SMA lo kan?" Asya yang geram melihat Rafael tidak ingat pada Silfa pun mengingatkannya.

"Ohh iya! Elo Silfa yaa? Sorry sorry gue lupa. Elo temen Asya?" Rafael pun baru teringat saat Asya mengingatkannya.

"Yaa gitudeh. Ternyata lo satu kampus ama temem gue." Di imbangi senyuman girangnya, Silfa berusaha untuk tidak terlalu salting di hadapan Rafael.

Asya hanya diam. Pikirannya sedang khawatir, takut Rafael berbicara macam-macam. Asya juga sama sekali tak memperhatikan apa yang di bicaraka Silfa dan Rafael. Biarkan saja, mereka reunian sejenak. Asalkan Rafael tidak akan berbicara tentangnya.

"Udah kali reuniannya. Pegel nih berdiri gini. Kagak aus apatuh?" Asya yang sudah mengembalikan dirinya, menyadarkan Rafael dan Silfa yang bertanya-tanya kabar teman SMAnya.

Silfa mendelik sebal, menoleh kearah Asya yang sepertinya bete dengan obrolan Silfa dan Rafael. Karena memang Asya tak tau apa-apa tentang apa yang di bicarakannya. Tapi tetep aja dalam hatinya Silfa mencibir pada Asya. Huh, gak bisa amat liat temen bahagia. Batin Silfa. Ia hanya tertawa, sambil menatap Asya jengkel.

"Yaudah ayuk pulang. Gue pulang yaa, Raf. Salamin ama anak-anak yang masih suka maen ama elo." Silfa pun pamitan, berjalan menghampiri pintu mobilnya. Di ikuti dengan Asya.

"Ohh yaudah, hati-hati yaa. Ohh iya, Asya! Besok jangan lupa yaa," Rafael mengingatkan Asya.

Asya yang sudah memegang pintu mobil, sama halnya dengan Silfa, berhenti sesaat karena bingung dengan omongan Rafael. Asya saja yang di maksud Rafael tidak mengerti maksudnya besok jangan lupa apaan?

"Emang besok apaan?"

"Besok satnite, nanti gue jemput lo di rumah lo jam 8." Rafael menyeringai jail menatap Asya. Mata sipitnya itu mengedip sebelah, membuat Asya terkejut dengan perkataan Rafael.

"Apaan sih? Gak jelas lo!" Omel Asya kesal, matanya melirik pada Silfa yang memperhatikannya begiti serius.

"Makanya jangan pikun, kan lo kemaren minta anter gue nyari tugas." Jelas Rafael.

Asya bernafas lega, mendengar penjelasan Rafael. Huh, hampir saja jantung Asya serasa mau copot saat Rafael berbicara macam-macam. Silfa malah tertawa dengan tingkah Rafael. Dari dulu dia emang jail, tapi gue selalu suka. Batin Silfa, di iringi senyuman manisnya, yang saat itu menatap Rafael yang sedang tersenyum jail pada Asya.

Sama sekali tak terlintas di pikiran Silfa soal Rafael yang menatap Asya dengan pandangan beda. Silfa hanya sibuk dengan perasaan girangnya yang bisa bertemu dengan Rafael. Dan semoga ini bukan hanya pertemuan yang berlalu begitu saja, semoga setelah pertemuan ini Silfa bisa dekat dengan Rafael. Dan yang pasti Silfa akan sering-sering main ke kampus Asya.

***

Malam itupun tiba. Malam minggu, malam yang biasanya sering di pakai untuk anak muda jalan dengan pasangannya. Dan walaupun Asya bukan pacar Rafael, namun Rafael sangat senang bisa menghabiskan waktu malam minggunya dengan Asya. Mungkin inilah yang di namakan kebetulan, saat Asya meminta bantuan untuk mencari tugas pada Rafael. Dan yang menentukan harinya pun Asya, meski Asya hanya memberitahu tanggalnya, namun Asya tidak tau bahwa hari itu adalah malam minggu.

Di bawah sinar rembulan, dan taburan bintang yang berkelip bergantian, Rafael dan Asya terus berjalan menyusuri pameran tanaman yang di gelae setiap malam minggu itu. Pameran yang tidak bertempat di sebuah ruangan, namun bertempat di alam terbuka. Dinginnya angin malam terasa menusuk kulit Asya yang saat itu hanya memakai kemeja dengan lengan sampai sikut.

Perlahan, tangan Rafael diam-diam mulai merangkul tubuh Asya. Asya yang merasa tangan Rafael melingkar di bahunya pun langsung menoleh, menatap Rafael. Rafael hanya membalasnya sambil tersenyum. Asya tertegun, memandang Rafael yang tersenyun begitu manis di hadapannya, dengan posiai Asya yang masih di rangkul Rafael, Asya mendongkak menatap Rafael dengan senyuman manisnya.

Degg.. jantung Asya pun mulai berdegup. Saat dengan tepatnya pandangan mereka bertemu. Dan baru kali ini Asya mampu menatapn mata sipit Rafael. Perasaan aneh tiba-tiba menjalar di hatinya. Tidak! Tidak mungkin! Asya tidak mungkin mencintai Rafael. Apalagi kini sebuah fakta terbuka, bahwa Asya memang tidak akan mungkin bisa bersama Rafael, meski sampai ribuan kali Rafael menyatakan cintanya, tekad Asya sudah bulat untuk tidak akan menerima Rafael. Silfa sangat mencintai Rafael, sedari dulu, dam Asya sangat tau tentang itu. Betapa tulusnya perasaan Silfa untuk Rafael, yang mungkin selama ini hanya berlangsung di hati Silfa sendiri.

"Lepasin ahh!" Asya kembali tersadar, dan menguasai dirinya kembali. Ia melepaskan tangan Rafael yang tadi melingkar di pundaknya.

"Lo kedinginan kan?" Tanya Rafael.

"Sok tau." Asya berusaha kembali jutek pada Rafael.

"Pake jaket gue." Rafael membuka jaket berwarna kuningnya. Di pakaikannya jaket itu di tubuh Asya. Asya hanya diam, tak menolak saat Rafael memakaikannya jaket milik Rafael.

Mereka kembali berjalan melihat tanaman-tanaman yang berada di sepanjang jalan. Sesekali Asya memotretnya melalui kamera D-slr nya. Kini Rafael hanya memakai kaos berwarna putihnya, dengan celana jeans berwarna coklat. Serta kepalanya yang mengenakan snapbag terbalik, dan kacamata minus yang suka di pakainya.

"Sya." Panggil Rafael, di tengah jalan-jalannya dengan Asya.

"Apa?"

"Gue suka, cinta, dan sayang sama elo." Ungkap Rafael lagi-lagi. Asya sama sekali tidak terlihat kaget, karena pasalnya hampir tiap hari Rafael mengatakan ini

"Gue tau." Jawab Asya santai.

"Terus?"

"Terus apa?" Asya malah balik bertanya.

Rafael menghembuskan nafas beratnya. Mendengar Asya yang malah menjawabnya begitu santai. "Kalo lo gak suka sama gue, kenapa lo gak pernah menghindar setiap gue deketin?" Tanya Rafael, pertanyaan yang mengganjal di hatinya selama ini kini mulai di ungkapkan.

Asya terkekeh mendengar pertanyaan Rafael. "Kalo lo tau gue gak suka sama lo. Kenapa elo masih terus deketin gue?" Asya membalikan pertanyaan Rafael.

"Karena gue cinta sama elo. Gimanapun sikap lo gue akan tetep berusaha ngedapetin lo. Tapi, Sya. Kalo suatu saat nanti gue suka sama orang lain, karena elo nya yang gak pernah ngerespon perasaan gue, gimana?"

Asya terdiam, mendengar pertanyaan Rafael kali ini. Entah mengapa saat mendengar itu hati Asya seakan tidak rela. Bagaimana jika Rafael nantinya akan berpaling mencintai orang lain? Orang lain yang akan lebih menghargai perasaan Rafael di bandingkan Asya. Mengapa Asya harus tidak rela, padahal berulang kali Asya mengatakan tidak menyukai Rafael.

"Itu hak elo! Gue kan bukan siapa-siapa elo." Jawab Asya kemudian. Meski bingung harus menjawab apa, akhirnya Asya menemukan satu jawaban yang tepat.

Hari sudah cukup malam, Rafael dan Asya pun hendak pulang. Namun sebelum pulang Asya ingin ke toilet sebentar. Asya pun menitipkan tas dan handphone nya pada Rafael. Karena Asya takut handphone dan tas nya akan basah jika di bawa ke dalam toilet.

Selama handphone Asya di pegang Rafael, Rafael melihat-lihat isi handphone Asya. Walpaper foto Asya dengan Silfa yang paling pertama terlihat oleh Rafael. Rafael pun kini tau satu hal baru tentang hidup Asya. Ternyata Asya sangat akrab dengan teman semasa SMA nya itu. Handphone Asya yang tidak di lindungi kode pengaman pun dengan mudah di lihat-lihat Rafael.

Drrtt.. tiba-tiba saja handphone itu bergetar, menandakan ada sms masuk. Terpampang jelas nama Silfa, sebagai pengirim pesan tersebut. Rafael pun tak bermaksud lancang untuk membaca sms itu, namun sayang tangannya salah pencet, sehingga sms tersebut terbuka dan terbaca olehnya.

Ciee yg satnite barengan Rafa. Maau kali.. ihh asya! Gue udah di follback dong ama Rafa. Cepetan lah lu pulang, gue mau curhat banyak

Isi sms itu tak sengaja terbaca oleh Rafael. Rafael sontak terkejur. Jadi, ternyata? Rafael paham, ya! Kali ini Rafael mengerti tentang alasan Asya sebenarnya. Tapi, jika Asya bisa menghargai perasaan Silfa, mengapa Asya tak pernah bisa menghargai Rafael yang tak pernah letih mencintainya.

"Ayok pulang, mana hape sama tas gue!" Suara Asya mengagetkan Rafael yang masih terpikirkan tentang isi pesan dari Silfa.

"Eh ayuk." Rafael yang tersadar pun segera mengembalikan tas dengan handphone Asya.

***

Cuaca sore hari yang cukup segar,matahari yang tidak bersinar begitu terik, juga angin yang tidak bertiup terlalu kencang. Namun suasan sejuk begitu terasa di halaman belakang rumah Silfa. Halaman yang di dominasi warna hijau, dari mulai rerumputan hingga berbagai tanaman kokeksi Mamanya Silfa. Serta sebuah pohon cukup rindang pun tumbuh di samping halamannya.

Sore ini benar-benar terasa begitu indah bagi Silfa. Entah karena faktor apa Rafael berkunjung ke rumahnya. Bahkan Silfa pun tidak tau bahwa Rafael tau rumahnya dari mana? Mungkin dari Asya. Silfa benar-benar tak dapat mengibaratkan bagaimana senangnya hatinya saat itu. Pujaan hatinya yang selama ini hanya ada di dalam harapannya, berkunjung ke rumahnya untuk sekedar main.

"Gue boleh ngomong sesuatu?" Tanya Rafael hati-hati. Di atas kursi yang terbentang di tengah-tengah halaman rumah Silfa itu, mereka duduk berdampingan.

Silfa terkejut dengan pertanyaan Rafael. Awalan kata itu, Silfa sering mendengarnya di sinetron atau ftv yang di tontonnya. Kata itu biasa di ucapkan sebagai pembukan seorang lelaki yang akan menyatakan perasaannya. Mungkinkah? Mungkinkah ini saat yang sangat di nantinya itu? Mungkinkah ini jawaban dari segala doanya selama ini?

"Ngomong aja." Silfa tetap berusaha tenang, meski hatinya berteriak kegirangan.

Rafael menarik nafasnya dalam-dalam, yaa inilah saatnya. Rafael akan menyatakan cinta pada seorang yang berada di hadapannya. Rafael terlihat takut dan ragu, karena kali ini wanita itu bukanlah Asya. Namun Rafael segera menguatkan kembali hatinya untuk melakukan hal ini. Semua ini akan di lakukannya dan semata demi Asya.

"Sejak ketemu lo lagi kemarin, gue mulai ngerasa kalo gue ada feeling sama lo. Sil, do you want to be my girlfriend?" Suara Rafael terdengar serak kali ini. Meski yang di ucapkannya tidak sesuai dengan hatinya, Rafael yakin dengan keputusannya. Namun hatinya pun seakan perih pula, bahwa jika Silfa akan menerimanya, maka harapan Rafael untuk bersama Asya harus pupus.

"Mau.. mau banget." Silfa mengangguk yakin. Ia tak percaya kata-kata itu akan terucap dari mulut Rafael.

Dari balik pintu yang menghubungkan ruangan belakang dengan halaman rumah Silfa ini, seorang wanita menatap pemandangan itu dengan mata yang berkaca-kaca. Entah sejak kapan ia berada di situ. Tapi yang jelas ia menyaksikan moment pernyataan cinta Rafael itu.

Dan kali ini, pernyataan itu bukan di tujukan untuknya. Asya mengerti dan sadar, saat sampai rumah ia mengecek handphone nya dan melihat pesan dari Silfa sudah terbuka. Padahal Asya pun belum membukanya. Asya tau, pasti itu kerjaan Rafael. Dan dengan sigap Rafael segera mengambil keputusan seperti ini.

Rafael memeluk Silfa, namun pandangannya kini melihat sosok yang di cintainya sedang menatapnya dari balik pintu. Hanya kepalanya yang terlihat mengintip Rafael dan Silfa. Dan kini Rafael memergoki Asya tengah menangis tanpa sadar. Air mata sudah membasahi pipinya. Asya yang sadar bahwa Rafael melihatnya pun dengan segera menghapus air matanya. Dengan cepat Asya tersenyum, lalu tangannya mengacungkan jempol pada Rafael, matanya seolah mengatakan sesuatu pada Rafael. Bagus, Raf. Ucap Asya pelan, meski tak terdengar oleh Rafael, namun Rafael mengerti dengan pesan non verbal yang Asya tunjukan.

***

Hari-hari Asya terua berlanjut. Tanpa adanya lagi ucapan kata-kata cinta dari Rafael, seperti hari-hari sebelumnya. Bahkan Rafael kini jarang sekali berbicara dengan Asya. Namun pandangan Rafael setiap melihat Asya seolah menjelaskan pada Asya, bahwa Rafael ingin menghindari Asya karena Rafael ingin mencoba untuk mencintai Silfa.

Satu keputusanpun di tempuh Asya. Asya memilih untuk pergi meninggalkan kota Jakarta ini. Asya pindah kuliah di Bandung. Mungkin, jika Rafael tidak melihat Asya, rasa itu akan menghilang seiring berjalannya waktu. Lalu bagaimana dengan Asya? Apakah benar Asya memilih pindah ke Bandung semata agar Rafael dapat melupakannya? Atau karena tak mampu melihat kenyataan, bahwa kini sosok Rafael yang tak pernah lelah mencintainya sedang berusaha mencintai orang lain? Mungkin memang, Asya mencintai Rafael. Dan Asya seakan baru menyadarinya saat setiap kejadian, ternyata dapat membuktikan bahwa Asya memiliki perasaan untuk Rafael. Saat Rafael lagi-lagi mengungkapkan perasaannya, Asya selalu senang, meski Asya tak pernah menerimanya. Saat Rafael mengatakan akan mencintai orang lain selain dirinya, hati Asya seakan tidak rela. Dan saat diam-diam Asya menyaksikan Rafael menyatakan cinta pada Silfa, secara refleks air mata mengalir dari mata Asya.

Tiga tahun berlalu, saat liburan tiba, Silfa meminta Asya untuk bermain ke Jakarta. Karena selama tiga tahun Asya benar-benar tak pernah lagi menginjakan kaki ke Jakarta. Dan sebenarnya kali inipun Asya menolaknya, tapi Silfa tetap memaksanya.

Tak dapat di pungkiri, sesungguhnya Asya pun ingin bermain ke Jakarta. Bertemu dengan Silfa, melepaskan rasa rindunya selama tiga tahun tak bertemu. Yang biasanya setiap hari mereka menghabiskan waktu bersama. Tapi Asya yakin, Silfa tidak terlalu kesepian, karena kini ada Rafael yang akan menemaninya. Bahkan, kata Silfa, sampai detik ini Silfa masih berpacaran dengan Rafael. Rafael. Yaa, Asya juga ingin bertemu dengannya.

Asya turun dari kereta yang mengantarkannya dari Bandung ke Jakarta. Dengan menenteng koper hitamnya, Asya terlihat mencari-cari orang. Mata Asya berkeliling, mencari sosok yang katanya akan menjemputnya di stasiun.

Degg..
Jantung Asya berdegup dengan kencangnya, saat matanya menangkap seseorang yang sudah lama tak di lihatnya. Seseorang yang dahulu sangat mencintainya. Namun kini, mata Asya pun tertuju pada seorang wanita yang tangannya bergandengan dengan Rafael. Di tengah kerumunan suasana stasiun pun mereka masih tetap bergandengan. Entah harus senang atau sedih yang di rasakan Asya, saat melihat dua orang yang sangat di rindukannya itu kini terlihat jelas di matanya. Namun mengapa hati Asya terasa resah melihat pemandangan itu?

"Asya.." Silfa melambaikan tangannya, saat melihat Asya yang malah melamun.

Asya pun tersadar, lalu ia berjalan menghampiri Silfa dan Rafael. Begitu pun dengan Silfa dan Rafael yang berjalan mendekat kearahnya.

Asya terdiam sesaat, di pandanginya wajah Silfa dan Rafael secara bergantian. Tatapan Rafael pun kini melihat pada Asya. Asya tertegun, tatapan itu! Tatapan itu masih sama seperti dahulu. Ingin rasanya Asya memeluk Rafael saat itu juga. Namun itu tidak mungkin, Silfa saat ini berstatus sebagai kekasih Rafael.

"Silfa, gue kangen." Asya memeluk Silfa. Melepaskan kerinduannya pada sahabat yang sangat akrab dengannya itu.

"Gue juga. Gimana kabar lo."

"Baik sih, tapi capek banget. Yaudah cepetan yuk pulang, gue kangen rumah gue disini." Asya pun menggandeng Silfa untuk segera pergi dari stasiun. Silfa melepaskan genggamannya pada Rafael.

Sudah dapat di tebak, Asya dan Silfa jika bertemu pasti ramai. Apapun di bicarakannya, sampai lupa segalanya. Dan kasihannya pada Rafael yang di anggurin, serta di suruh bawa koper milik Asya. Rafael berjalan di belakang Asya dan Silfa, mengikuti langkah mereka. Bahkan Asya belum bicara apapun pada Rafael. Yang menyuruh Rafael membawakan koper Asya pun itu Silfa.

Asya menoleh ke belakang, mendapati Rafael yang malah tersenyum padanya. Senyum itu! Masih terlihat begitu manis. Asya merindukan senyum itu. Asya pun membalas senyumannya. Lalu kembali menatap jalan.

***

Pada suatu kesempatan, Rafael mengajak Asya untuk pergi dengannya. Hanya berdua. Tanpa ada Silfa. Asya memang berniat untuk menolak ajakan Rafael, namun tak dapat di pungkiri hatinya pun tidak dapat menolaknya. Asya merindukan Rafael. Sangat merindukannya.

Rafael duduk berhadapan dengan Asya di suatu cafe yang terletak di dalam mall. Hati Asya mulai was-was, saat melihat ke sekeliling cafe, ternyata disitu hanya ada dirinya dengan Rafael, dan para pelayan dengan seragam yang rapi. Asya makin panik, saat jiwa sinetronnya mempengaruhi pikirannya. Jangan-jangan ini seperti apa yang ada di sinetron yang ia saksikan. Rafael sengaja menyewa cafe ini hanya untuk mereka berdua? Tapi untuk apa? Rafael tak mungkin akan menyatakan cintanya lagi bukan?

"Lo kenapa sih? Dari tadi matanya ngeliatin sono sini mulu?" Rafael kebingungan dengan gelagat Asya yang mengedarkan pandangan ke seluruh sudut cafe.

Asya menoleh, melihat Rafael yang menatapnya kebingungan. "Eng.. kok cafe nya sepi sih?"

"Yaa mana gue tau. Emang kenapa? Lo gak suka? Atau jangan-jangan elo mikir gue ngebayar manager nih cafe buat ngosongin cafe ini gitu? Duit gue gak sebanyak itu juga kali," Pikiran Asya tertebak oleh Rafael. Rafael pun segera menjawabnya. Asya jadi malu sendiri karena sempat kepedean berpikir seperti itu.

Keduanya kembali terdiam. Mereka hanya sibuk dengan minumannya yang sudah datang, sambil menunggu pesanan makanan datang, Rafael maupun Asya terlihat hanya sedang mengaduk-aduk minumannya, tanpa ada percakapan. Namu ada yang beda dengan Asya, sejak pertaman di ajak jalan Rafael, wajah Asya benar-benar berbeda. Asya berusaha menormalkan suasana hatinya yang berkecamuk, juga dengan jantungnya yang berdetak tak karuan, belum lagi dengan pikirannya yang sudah tidak jelas.

"Makasih, yaa.." di tengah kesunyian, Rafael mencairkan suasana. Tangannya masih tetap mengaduk minumannya. Pandangannya berusaha melihat pada Asya, meski agak takut.

"Buat apa?"

"Buat semuanya. Buat semua penolakan elo ke gue dulu. Sampe akhirnya gue sadar kalo lo gak akan terima gue karena Silfa. Dan saking cintanya gue sama elo, gue sampe rela buat jadian sama Silfa, meski lo gak pernah nyuruh gue, tapi gue ngerti itu yang lo pengen. Dan berkat lo, sekarang gue udah sama Silfa. Dia baik banget, perhatian sama gue, care pula, dan saat bersama dia gue ngerasain gimana rasanya di cintai sama orang. Lo gak usah khawatir, gue gak mungkin nembak lo lagi. Karena, gue sayang banget sama Silfa. Gue gak mau kehilangan dia, meski sampe sekarang orang yang gue cintain masih tetep elo." Cukup panjang Rafael berbicara, sepertinya itulah inti dari pertemuan Rafael dan Asya kali ini. Rafael seolah ingin menjelaskan tentang perasaan hatinya.

Asya terdiam. Ia sama sekali belum membuka mulutnya. Asya hanya menunduk, menatap apapun yang di lihat oleh pandangannya. Perkataan Rafael seolah menyayat hatinya, ternyata, Rafaael masih tetap mencintai Asya. Namun mengapa Asya harus merasa tidak suka dengan ucapan Rafael? Karena satu fakta telah terbuka, bahwa Rafael sangat menyayangi Silfa. Mengapa Silfa harus tidak suka? Bukankah itu dulu keinginannya? Bukankah dulu memang Silfa yang menjadi alasan Asya tidak ingin bersama Rafael? Tapi.. ahh! Kepala Asya justru begitu sakit memikirkan ini. Kisah hidup membingungkan.

"Tapi kali ini gue mau lo jujur, Sya. Apa lo pernah mencintai gue. Please, jujur, Sya. Gue mohon, gue mau pastiin kalo cinta gue ke elo gak bertepuk sebelah tangan. Meskipun lo gak pernah ngakuin itu, tapi gue mohon kali ini aja jujur sama hati lo sendiri."

Degg...
Jantung Asya semakin berdetak lebih kencang. Bahkan bisa jadi ingin copot. Asya berusaha mendongkakan kepalanya, dengan keberanian yang di milikinya, Asya mencoba menatap Rafael. Mata itu. Asya benar-benar melihat ketulusan dalam mata Rafael.

"Iya! Gue cinta, mungkin cinta banget sama elo, Raf." Asya berteriak dalam hati. Pecundang! Asya merutuki dirinya sendiri. Bibirnya seketika kelu, tak mampu berucap sepatah katapun. Atau memang inilah isyarat bahwa Asya tak perlu mengatakan yang sejujurnya.

"Sya, kenapa diem?" Rafael menegur Asya yang masih menatapnya sendu.

"Enggak. Kalo gue cinta sama lo, harusnya dari awal gue nerima elo. Jauh sebelum gue tau bahwa elo Rafa yang di maksud Silfa." Meski hatinya terasa menyakitkan, harus berdusta pada kenyataan, namun dengan lantang Asya mengatakannya. Bahkan matanya mulai berlinang, kebohongan itu benar-benar menyakitkan. Namun kejujuran itupun sangat menyulitkan.

"Ohh, thanks yaa udah mau jujur. Seharusnya dari awal gue tau kalo lo gak pernah cinta sama gue. Tapi thanks buat semuanya." Suara Rafael mulai serak, mendengar pernyataan Asya yang berhasil menampar hatinya. Ternyata dugaannya salah. Rafael bodoh! Bukankah Asya memang sudah berulang kali mengatakan itu padanya? Batin Rafael, meracau dalam hati.

"Gue ke toilet bentar." Asya segera berdiri, lalu berbalik badan mencari toilet. Dan sebenarnya itu hanya sebuah alasan, karena Asya tak kuasa menahan air matanya yang sudah di pulupuk matanya.

Memang tidak ada salahnya Asya berkata jujur. Namun saat menatap mata Rafael, Asya justru merasakan sebuah ketakutan. Meski Rafael berkata tidak akan meninggalkan Silfa, tapi kejujuran Asya akan menggoyahkan prinsipnya. Itu yang Asya takutkan. Rafael sudah bahagia dengan Silfa, dan Asya tidak ingin merusak kebahagiaan mereka karena kejujurannya.

Di tempatnya, sesekali Rafael menghapus air matanya yang berhasil menetes. Membasahi pipi putihnya. Rasanya memang sangat menyakitkan, dan Rafael tak peduli jika ada orang yang melihatnya menangis. Ini wajar, manusiawi. Asalkan Rafael tidak akan terlihat menangis di hadapan Asya.

***

Jujur itu memang Indah
Tetapi, apa jujur masih akan tetap indah?
Jika kejujuranku akan menghancurkan kebahagiaan yang sudah ada
Akan menyakiti sahabat yang aku sayangi
Akan membuat orang yang aku cinta menjadi tidak enak hati

Jika jujur itu hanya merusak semuanya
Lebih baik aku tetap berdusta
Mengatakan tidak pernah mencintaimu
Biarkan cukup hatiku yang mengetahuinya
Dan aku harap kau akan mengijinkannya
Karena aku akan tetap mencintaimu dalam diam


***

Fanfiction ini diikut sertakan dalam yang diadakan oleh bersama penerbit spring dan Haru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Love At The Last Sight *Cerpen

You Belong With Me *Cerpen Duet